A.
Pendahuluan
Agama memiliki prioritas pada program yang telah
didasarkan oleh pendekatan eksistensialis dalam pendidikan. Yang terpenting
disini adalah bahwa sugesti tersebut merupakan hasil dari filosof religius.
Para eksistensialis percaya bahwa seorang murid harus diserahi kebebasan untuk
membentuk wawasan keagamaan, jika ia telah berada di dalam jalan yang benar.
Sekolah yang ideal adalah suatu yang mengijinkan murid untuk memperbaiki
kesalehan, tak masalah doktrin mana yang dipillihnya.[1]
Para
eksistensialis menegaskan bahwa agama harus dipikirkan pada tingkat akademik,
secara benar dan jalan komparatif. Mereka ingin agama tidak hanya sekedar
perasaan keyakinan, tetapi juga menjadi suatu tindakan hidup. Menurut para eksistensialis, masalah pengajaran di sekolah
adalah peraga ntuk merealisasikan subyektivitas, yang berarti bahwa mereka
mambantu keberadaan seseorang untuk menjadi sadar terhadap bakat personalnya
dan untuk mengembangkan dan merealisasikan, agar mencakup makna berbagai
masalah.[2]
Tujuan
utama pendidikan adalah membuat murid menemukan dirinya sendiri (dimensi
batin), memahami kapasitasnya dan mendisiplinkan diri sendiri. Agar menjadi
manusia, engkau harus mengada dan agar mengada engkau harus sadar terhadap
keberadaan dirimu sendiri. Tujuan pendidikan adalah membuat peserta didik
menjadi sadar terhadap keberadaan kesadarannya, sehingga ia dapat
merealisasikan dirinya sendiri sebagai manusia. Hal itu adalah adalah tugas
guru untuk menginisiasi pada peserta didik, kemampuan untuk menjadi dirinya
sendiri.[3]
B.
Rumusan Masalah
Dari latar
belakang di atas, di ambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana tinjauan filosofis terhadap metode pendidikan islam?
2.
Bagaimana tinjauan filosofis terhadap lingkungan dalam pendidikan islam?
3.
Bagaimana tinjauan filosofis terhadap kurikulum dalam pendidikan islam?
C.
Pembahasan
1.
Tinjauan filosofis terhadap metode pendidikan islam
Untuk mengawali masalah metode
dalam pendidikan islam, ada baiknya kita coba untuk mengedepankan pengertian
dari metode itu sendiri. Sebab, mengerti tentang suatu permasalahan adalah
sangat penting untuk menelaah secara filosofis permasalahan tersebut. Di bawah
ini akan ditampilkan pendapat para ahli pendidikan tentang metode.
Osman Raliby dalam Kamus
Internasional (1982), menampilkan pengertian bahwa metode ialah cara-cara
kerja. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991) metode diartikan sebagai cara
yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu
pengetahuan dan lain sebagainya), cara kerja yang bersistem untuk memudahkan
pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Dalam
pengertian umum metode diartikan sebagai cara mengerjakan sesuatu.[4]
Dari beberapa pengertian para ahli
di atas, dapat disimpulkan bahwa metode adalah suatu cara tertentu yang disusun
secara sistematis untuk mempermudah pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai
tujuan yang telah ditentukan.
Dalam proses pendidikan islam,
metode mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam upaya mencapai tujuan.
Karena, ia menjadi sarana yang melaksanakan materi pelajaran yang tersusun
dalam kurikulum pendidikan sedemikian rupa sehingga dapat dipahami oleh anak
didik menjadi pengertian-pengertian yang fungsional dalam tingkah lakunya.
Antara metode, kurikulum dan tujuan pendidikan islam mengandung relevansi ideal
dan operasional dalam proses kependidikan. Karena proses kependidikan islam
mengandung makna internalisasi dan transformasi nilai-nilai ke dalam pribadi
anak didik dalam upaya membentuk pribadi muslim yang beriman, bertaqwa dan
berilmu pengetahuan yang amaliah yang mengacu pada tuntutan agama dan kebutuhan
masyarakat.[5]
Dalam proses kependidikan tidak
akan mungkin satu metode dipakai, akan tetapi harus diselingi dengan metode
yang lain, dengan memperhatikan beberapa faktor terkait baik secara langsung
maupun tidak langsung. Dan yang paling penting, dalam proses pendidikan Islam
metode yang digunakan harus sesuai
dengan karakter universal, seperti kondisi sosial, ekonomi, kebudayaan,
peradaban antara individu yang satu dengan yang lainnya, sarana yang tersedia,
biaya yang ada, dan bagaimana kemampuan seorang pendidik untuk menangkap
situasi yang berlangsung menuju pada suatu perubahan (totalitas) yang
diinginkan oleh pendidikan Islam. Maka, kemampuan seorang pendidik
mengaplikasikan berbagai macam metode adalah menjadi sangat penting dalam
proses pendidikan Islam.[6]
Filosof
eksistensialis, Heidegger menggunakan metode fenomenologi bagi analisis
dan deskripsi eksistensi manusia. Ketika kita mengaplikasikan metode Heidegger
untuk pendidikan, kita dapat menyimpulkan bahwa seorang pendidik akan
membebaskan dirinya sendiri dari semua pikiran yang ditetapkan sebelumnya dan
menjelaskan serta menggambarkan fenomena terhadap muridnya. Konsep
eksistensialis tentang nilai pendidikan adalah metode partisipasi individual.
Filosofi pendidikan eksperimentalis dan progresif telah membuat kegunaan metode
partisipasi individual untuk skala tertentu dan mereka menganggapnya menjadi
suatu masalah yang dapat di tambahkan dan dimasukkan ke dalam aktivitas murid
dan digunakan dengan sesuai. Para eksistensialis memandang metode ini menjadi
menarik bagi murid, dalam peristiwa yang hidup dan tidak menjauhkan diri
darinya. Dengan kata lain, hal itu berarti bahwa murid akan menjadi antusias
berkenaan dengan subyek di sekolah dan peristiwa-peristiwa itu mengambil tempat
dalam lingkungannya, sehingga ia menyadari tentang hal yang baik dan buruk,
benar dan salah, aspek positif dan negatif. Seorang guru yang menggunakan
metode partisipasi akan mengijinkan muridnya untuk mendiskusikan semua topik
yang ada.[7]
Abdul Munir Mulkan mengemukakan beberapa ayat yang dipergunakan
sebagai rujukan pengembangan metode pendidikan islam:[8]
1.
Allah SWT menyuruh hamba-Nya untuk mencontoh Rasulullah, sebab sesungguhnya
pada diri Rasulullah terdapat yang baikan bagi kamu sekalian.(Q. S.
Al Ahzab/33:21)
2.
Allah
SWT memerintahkan hamba-Nya untuk menyeru manusia kejalan Tuhan dengan hikmah
dan pelajaran yang baik. Dan argumentasi yang dapat dipertanggung jawabkan. (Q.
S. An Nahl/16:125)
3. Allah SWT memerintahkan ummat islam untuk mengembangkan
sikap arif dan bijaksana dalam melakukan dan menyelesaikan suatu aktifitas
(berdiskusi dan bermusyawarah) serta bertawakal kepada-Nya.(Q. S.
Ali Imron/3:159)(Q. S. Asy Syura/42:38)
4. Manusia diperintahkan untuk berjalanlah
di muka bumi perhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan Allah.
( Q. S. Al An’aam/6:11)
5. Sesungguhnya telah berlaku sunnah-sunnah
Allah sebelum kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang
yang mendustakan agama. ( Q. S. Ali Imron/3:137)
2.
Tinjauan filosofis terhadap lingkungan dalam pendidikan islam
Dapat dipahami bahwa lingkungan tarbiyah islamiyyah itu adalah suatu
lingkungan yang di dalamnya terdapat ciri-ciri keislaman yang memungkinkan
terselenggaranya pendidikan islam dengan baik. Lingkungan atau tempat
berguna untuk menunjang suatu kegiatan, termasuk kegiatan pendidikan,
karena tidak ada satupun kegiatan yang tidak memerlukan tempat di mana kegiatan
itu diadakan. Sebagai
lingkungan tarbiyah Islamiyyah, ia mempunyai fungsi antara lain menunjang
terjadinya proses kegiatan belajar mengajar secara aman, tertib dan
berkelanjutan.[9]
Salah satu sistem yang
memungkin proses kependidikan Islam berlangsung secara konsisten dan
berkesinambungan dalam rangka mencapai tujuannya adalah institusi atau
kelembagaan pendidikan Islam. Dari Peryataan ini dapat di pahami
lingkungan Islam adalah sesuatu institusi atau lembaga di mana pendidikan itu
barlangsung. Dalam berbagai sumber bacaan kependidikan, jarang di jumpai
pendapat para ahli tentang pengertian lingkungan pendidikan. Kajian lingkungan
pendidikan ini biasanya terintegrasi secara implisit dengan pembahasan mengenai
macam–macam lingkungan pendidikan. Namun demikian, dapat dipahami bahwa
lingkungan tarbiyah islamiyyah itu adalah suatu lingkungan yang di dalamnya
terdapat ciri-ciri keislaman yang memungkinkan terselenggaranya pendidikan
islam dengan baik.
Al-Qur’an tidak
mengemukakan penjelasan mengenai lingkungan pendidikan Islam tersebut, kecuali
lingkungan pendidikan yang dalam praktek sejarah digunakan sebagai tempat
berlangsunnya kegiatan pendidikan, al-Qur’an secara langsung maupun tidak
langsung menyinggungnya. Namun demikian , lingkungan sebagai sebuah tempat
kegiatan sesuatu hal, mendapat pengarahan dan perhatian dari al- Qur;an.
Sebagai tempat tinggal manusia pada umumnya, lingkungan dikenal dengan istilah al-qaryah
diulang dalam al-Qur’an sebanyak 52 kali yang di hubungkan dengan keadaan
tingkah laku penduduknya. Sebagaian ada yang dihubungkan dengan penduduknya
yang berbuat durhaka lalu mendapat siksaan dari allah (Q.S. 4:75; 7:4; 17:16;
27:34) sebagaian di hubungkan dengan penduduknya yang berbuat baik sehingga
menimbulkan suasana yang aman dan damai (An-Nahl ayat 112)
z>uÑur ª!$# WxsWtB Zptös% ôMtR$2 ZpoYÏB#uä Zp¨ZͳyJôÜB $ygÏ?ù't $ygè%øÍ #Yxîu `ÏiB Èe@ä. 5b%s3tB ôNtxÿx6sù ÉOãè÷Rr'Î/ «!$# $ygs%ºsr'sù ª!$# }¨$t6Ï9 Æíqàfø9$# Å$öqyø9$#ur $yJÎ/ (#qçR$2 cqãèuZóÁt ÇÊÊËÈ
“Dan Allah telah
membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi
tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi
(penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan
kepada mereka pakaian. kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu
mereka perbuat.”
Dan sebagaian lagi
dihubungkan dengan tempat tinggal para nabi. semua ini menunjukan tentang
pentingnya lingkungan atau tempat bagi suatu kegiatan, termasuk kegiatan pendidikan
Islam.
3.
Tinjauan filosofis terhadap kurikulum dalam pendidikan islam
Secara
etimologi, kurikulum
berasal dari bahasa yunani, yaitu curir
yang artinya berlari dan curere yang
berarti tempat berpacu. Dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, kurikulum
didefinisikan sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi,
dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman dalam penyusunan
kurikulum tingkat satuan
pendidikan dan silabusnya pada setiap satuan pendidikan.[10]
Perkataan
kurikulum mulai dikenal sebagai suatu istilah dalam dunia pendidikan sejak
kurang lebih satu abad yang lalu. Istilah kurikulum muncul untuk pertama
kalinya dalam Kamus Webster pada 1856. Pada tahun itu kurikulum digunakan dalam
bidang olah raga, yaitu suatu alat yang membawa dari start sampai ke finish. Baru
pada 1955 istilah kurikulum digunakan dalam bidang pendidikan, dengan arti
sejumlah materi pelajaran dari suatu perguruan. Dalam kamus tersebut kurikilum
diartikan dua macam, yaitu:
a. Sejumlah materi pelajaran yang harus
ditempuh atau dipelajari di sekolah atau perguruan tertinggi untuk memperoleh
ijazah tertentu.
b. Sejumlah materi pelajaran yang
ditawarkan oleh suatu lembaga pendidikan atau jurusan.[11]
Sejak tahun 70 desain kurikulum di Amerika mengalami
perubahan terutama setelah Schwabs menjelaskan pendapatnya (1969) bahwa bidang
kurikulum sebagaimana dikembangkan melalui metode dan prinsip-prinsip yang pada
saat itu memberikan konstribusi yang berarti terhadap perkembangan pendidikan harus
memperoleh prinsip-prinsip yang mengembangkan pandangan-pandangan baru
mengingat karakteristik terhadap problemnya. Perkembangan kurikulum membutuhkan
prinsip-prinsip praktis dan integral yang dapat memberikan petunjuk pada
permasalahan kurikulum dan pengambilan keputusan tentang tujuan dan langkah
yang diperlukan untuk mencapai kurikulum yang memadai. Perkembangan kurikulum
yang merupakan sintesis teori pendidikan dan ilmu jiwa tidak mencakup
keterpaduan, baik filosofis maupun pendidikan. Masalah yang menyangkut tujuan
akhir dan sasaran pendidikan memerlukan perhatian. Teknik baru pendidikan dan
pengajaran menghasilkan akibat-akibat di luar penguasaan sekolah karena
perhatian para pengembang kurikulum sangat terpusat pada unsur-unsur internal
pengembangan kurikulum, seperti tujuan, metode pengajaran, sistem evaluasi, dan
sebagainya yang sebenarnya memerlukan satu strategi yang komprehensif.
Justifikasi bagi keberhasilan suatu kurikulum sangat tergantung pada
kreatifitas dan penampilan guru. Guru yang kreatif dan berpenampilan baik dapat
mendorong keberhasilan murid. Keberhasilan sebuah kurikulum adalah terutama ditetapkan
oleh suatu proses pembelajaran yang dapat memberikan nilai-nilai tertentu untuk
mencapai keberhasilan hidupnya.[12]
D.
Kesimpulan
Dalam proses pendidikan islam, metode
mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam upaya mencapai tujuan. Karena, ia
menjadi sarana yang melaksanakan materi pelajaran yang tersusun dalam kurikulum
pendidikan sedemikian rupa sehingga dapat dipahami oleh anak didik menjadi
pengertian-pengertian yang fungsional dalam tingkah lakunya. Lingkungan atau tempat berguna untuk menunjang
suatu kegiatan, termasuk kegiatan pendidikan, karena tidak ada satupun
kegiatan yang tidak memerlukan tempat di mana kegiatan itu diadakan. Sebagai lingkungan tarbiyah
Islamiyyah, ia mempunyai fungsi antara lain menunjang terjadinya proses
kegiatan belajar mengajar secara aman, tertib dan berkelanjutan. Justifikasi
bagi keberhasilan suatu kurikulum sangat tergantung pada kreatifitas dan penampilan
guru. Keberhasilan sebuah kurikulum adalah terutama ditetapkan oleh suatu
proses pembelajaran yang dapat memberikan nilai-nilai tertentu untuk mencapai
keberhasilan hidupnya.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin,
Zainal. Pengembangan Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan Islam. Yogyakarta: diva press. 2012.
Bayrakli,
Bayraktar. Prinsip dan Metode Pendidikan Islam. Jakarta: Inisiasi Press.
2004.
Feisal,
Jusuf Amir. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Gema Insan Press.
1995.
Rosyadi,
Khoiron. Pendidikan Profeti.,
Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
2004.
http://cafebaca.blogspot.com/2010/08/tinjauan-filosofis-terhadap-metode.html