Tasbih kecil untuk sang
kakak
Sore itu hujan telah
reda, sesosok gadis lugu duduk termenung memandangi luar jendela. Entah apa
yang terjadi tiba-tiba ada setetes air yang membentuk garis di kedua pipinya.
Dengan handphone di genggamannya, terlihat sebuah pesan terkirim yang
bertuliskan “biarlah tasbih kecil yang akan mengantar dan menemani
kakak disana, jaga baik-baik iyya kak?,anggap ittu butiran syang adek ke kakak”. “Kakak” begitulah
gadis lugu itu memanggil pria yang udah satu tahun lebih dikenalnya. Adek (si
gadis lugu) tak mengerti apa yang dirasakan sore itu. Dia merasa kehilangan
sosok kakak yang di inginkannya. Sore itu kakak harus kembali ke kota
metropolis tuk mengemban tugasnya kembali. Dua hari sebelum kembali, kakak dan
adek itu pergi tuk menepati janji. Janji yang udah di buat kakak tuk mengajak
adek jalan-jalan jika udah kembali ke kota kelahiran mereka kota suci kota
kretek.
Hari pertama kakak mengajak adek jalan-jalan ke lereng
Muria Kudus. Si adek menantang kakak tuk jalan kaki sampai ujung Gunung Muria,
“kamu yakin kuat dek?” tanya kakak. “kuat kak, kakak tuch malah yang belum sarapan,
kira-kira kuat gak? Hayo” ujar adek. “Kuat dong, ayo buktikan saja” . “siap kak
ayo!” sahut si adek. Anak tangga pertama mulai di pijak, kemudian anak tangga
kedua dan seterusnya. Namun belum nyampe pertengahan jalan si adek udah
kehabisan energi dan butuh istirahat sejenak. Si kakak pun mengajak adek ke
tepi tuk duduk sejenak. Setelah energi sedikit pulih, adek mengajak kakak tuk
melanjutkan perjalanan lagi. Dengan medan yang dirasa cukup licin, karena alas
kaki yang di pakai tidak bershabat. Adek sangat berhati-hati dalam melangkahkan
kakinya, dan mencoba meraih tangan si kakak tuk di jadikan pegangan. Kakak pun
menggenggam erat tangan si adik, seolah seorang kakak yang takut jika terjadi
sesuatu pada adeknya. Jarak beberapa meter lagi-lagi adek kehabisan energi dan
kakak mengajak adek tuk ke tepi dan istirahat sejenak. Sampai beberapa kali
istirahat. Di sepanjang jalan kakak terus menggenggam erat tangan si adek,
sehingga membuat adek merasa tenang meski melewati jalan yang dirasa cukup
licin. Dan meski dengan energi yang hampir habis, berkat di gandeng sang kakak
adek pun bisa berjalan sampai puncak Gunung Muria. Sayangnya, udah sampai
puncak namun tidak sempat ziarah ke makam mbah sunan karena adanya suatu hal
yang darurat.
Setelah sampai puncak, kakak dan adek kembali turun tuk
mengunjungi tempat wisata air terjun montel. Disana kakak adek sempat salah
jalur, seharusnya jalur masuk yang diambil mlah jalur keluar yang dilewati.
Untung saja kakak adek sadar dan kembali mengambil jalur masuk. Dan melewati
medan yang dianggap cukup licin lagi. Namun genggaman kakak gak pernah lepas
dari adek, hingga buat adek gak merasa takut melewati medan yang gak nyaman baginyat.
Setelah disepanjang jalan menikmati udara yang cukup sejuk, akhirnya sampai
juga di air terjun yang begitu indah. Kakak dan adek pun mencari tempat di
dekat air terjun dan menikmati pemandangan di sekitar air terjun. Banyak cowok
yang mandi di bawah air terjun. Kakak pun ingin mandi disana, namun karena adek
gak bisa ikut mandi jadi kakak mengurungkan keinginannya untuk mandi disana. Sambil
menikmati air yang jatuh membentuk panorama yang indah, kakak dan adek berbagi
cerita dengan sedikit gurauan dan celetukan melengkapi indahnya kisah di siang
itu.
Hari
sudah beranjak sore udarapun semakin dingin menusuk tulang, adek pun mengajak
kakak pulang. Gengagaman itu tak henti menjaga adek, memberikan ketenangan bagi
adek, hingga adek tak takut melawati jalan yang tak cukup bersahabat. Meski
berjalan cukup jauh, namun sang kakak tak melepaskan genggaman itu dan
mengarahkan jalan buat sang adek. Lelah pun tak terasa, kakak dan adek
melanjutkan perjalanan untuk pulang. Turun gunung dengan mengendarai kendaraan
roda dua, adek di boncengin kakak. Jalan yang cukup menantang keberanian karena
turunan yang curam dan berbelok. Buat adek merasa ngeri, namun sang kakak
meminta adek untuk pegangan saja. Adek pun memegangi kakak erat-erat. Setelah
sampai bawah dan usai melewati jalan yang cukup menantang hati adek udah cukup
tenang. Di perjalanan yang medannya sudah cukup stabil, kakak adek merasa
ngantuk dan capek. Adek mencoba mengajak kakak ngobrol tuk menghilangkan rasa
ngantuk. Tapi rasa ngantuk itu malah semakin menjadi yang dirasakan sang adek.
Sebelum sampai rumah kakak mengajak adek untuk makan sore dulu. Setelah itu
kakak mengantarkan adek pulang. Sebenarnya hari yang melelahkan namun adek tak
merasakan hal itu. Senang dan bahagia yang adek rasa.
Tersadar dari lamunannya, gadis lugu itu mengusap garis
yang dibentuk oleh setetes air di kedua pipinya. “nie q ngapain sie, kok malah
da air mata disini”. Tak sadar kalau dia telah membiarkan air jatuh dari mata
hingga basahi pipinya. Pikirannya pun kembali melayang di hari kedua dia
bertemu terakhir dengan kakak.
Sore itu, sehabis adek menyelesaikan tugas di kantor PMI.
Di pinggir jalan yang ramai adek menunggu sang kakak datang, yang sebelumnya
sudah janjian bertemu kakak untuk berpamitan. Menit demi menit dilewati adek
sambil melihat kendaraan yang silih berganti melaju, sesekali mencari-cari sang
kakak. Menunggu cukup lama, akhirnya adek pun melihat sang kakak lewat namun
sang kakak terus melaju melewati sang adek. Sang adek pun gelisah, kemanakah
sang kakak?. Lalu adek menelusuri tepi jalan dan melihat sang kakak diujung
jalan, segeralah sang adek menghampiri sang kakak. Kakak dan adek pun beranjak
pergi mencari tempat tuk membicarakan banyak hal. Setelah menelusuri jalan demi
jalan, kakak menghentikan kendaraannya dan meminta adek turun. Duduklah kakak
dan adek di tepi halaman yang sangat luas.
Obrolan pun dimulai, dari keluarga kakak sampai
bidadarinya sang kakak. Yah, sang kakak udah punya bidadari yang turun dari
wergu katanya. Bunda, begitu kakak memanggil bidadarinya yang baik hati dan
cantik. Adek merasa dirinya bersalah, udah ajak jalan-jalan kakak tanpa sepengetahuan
sang bunda. Tapi sang kakak mencoba menenangkan sang adek, bahwa bunda itu baik
dia gak akan marah, bunda tau hubungan antara kakak dan adik. Memang sih, kakak
udah mengenal adek lebih dulu sebelum mengenal bunda. Tapi rasa sayang bunda ke
kakak lebih dulu di banding rasa sayang adik ke kakak. Sambil sesekali melihat
anak-anak kecil bermain di tengah halaman tuk mengurangi ketegangan. Meneruskan
perbincangan yang cukup menarik, tak lupa adek memberikan sebuah tasbih kecil
buat kakak. Tasbih kecil yang dianggap cukup mewakili rasa sayang adek kepada
sang, semuga memberikan manfaat buat sang kakak. Sang adek berharap tasbih
kecil itu di jaga seperti sang kakak menjaga sang adek. Berharap tasbih kecil
itu bisa menemani kakak disana, memberi semangat kakak tuk menjalankan tugas.
Tak terasa 30 menit berlalu, sang kakak harus segera pulang tuk pergi ziarah ke
makam dan keperluan lainnya. Sore itu merupakan awal masuk bulan Ramadhan 1434H.
Sore itu juga akhir pertemuan kakak dan
adek sebelum lebaran.
Tersadar kembali dari lamunannya, gadis lugu itu mencoba
menjalani dan menerima apa yang ada. Mencoba bangkit dari tempat duduk dan
siap-siap mandi lalu menyiapkan buka puasa, hari itu merupakan awal bulan
Ramadhan.
Mungkin
jatuh cinta memberikan dia trauma, sehingga buat dia tak mudah tuk jatuh cinta.
Musti butuh waktu yang gak sebentar untuk dia merasakan jatuh cinta. Karena
traumanya itu, rasa yang muncul padanya terlambat. Kakak yang udah
menyayanginya lebih dulu, kini sudah menerima cinta dari sang bidadari. Gadis
itu tak merasa kecewa, mungkin saja belum jodoh. Sang kakak akan mendoakan sang
adek agar segera dapat kekasih yang baik seperti bidadarinya kakak. Gadis itu
akan menanti pemilik tulang rusuk datang, yang mungkin saat ini masih di
gembleng Allah agar menjadi pemilik tulang rusuk yang bertanggung jawab kelak
nantinya. Kasih sayang adek buat kakak akan tetap selalu ada, lewat butiran
tasbih kecil kasih sayang adek menemani kakak.
11/07/2013
Dari adek untuk kakak
From UY to SV