Thursday, 1 August 2013

Tasbih kecil untuk sang kakak


Tasbih kecil untuk sang kakak

            Sore itu hujan telah reda, sesosok gadis lugu duduk termenung memandangi luar jendela. Entah apa yang terjadi tiba-tiba ada setetes air yang membentuk garis di kedua pipinya. Dengan handphone di genggamannya, terlihat sebuah pesan terkirim yang bertuliskan “biarlah tasbih kecil yang akan mengantar dan menemani kakak disana, jaga baik-baik iyya kak?,anggap ittu butiran syang adek ke kakak”. “Kakak” begitulah gadis lugu itu memanggil pria yang udah satu tahun lebih dikenalnya. Adek (si gadis lugu) tak mengerti apa yang dirasakan sore itu. Dia merasa kehilangan sosok kakak yang di inginkannya. Sore itu kakak harus kembali ke kota metropolis tuk mengemban tugasnya kembali. Dua hari sebelum kembali, kakak dan adek itu pergi tuk menepati janji. Janji yang udah di buat kakak tuk mengajak adek jalan-jalan jika udah kembali ke kota kelahiran mereka kota suci kota kretek.
            Hari pertama kakak mengajak adek jalan-jalan ke lereng Muria Kudus. Si adek menantang kakak tuk jalan kaki sampai ujung Gunung Muria, “kamu yakin kuat dek?” tanya kakak. “kuat kak, kakak tuch malah yang belum sarapan, kira-kira kuat gak? Hayo” ujar adek. “Kuat dong, ayo buktikan saja” . “siap kak ayo!” sahut si adek. Anak tangga pertama mulai di pijak, kemudian anak tangga kedua dan seterusnya. Namun belum nyampe pertengahan jalan si adek udah kehabisan energi dan butuh istirahat sejenak. Si kakak pun mengajak adek ke tepi tuk duduk sejenak. Setelah energi sedikit pulih, adek mengajak kakak tuk melanjutkan perjalanan lagi. Dengan medan yang dirasa cukup licin, karena alas kaki yang di pakai tidak bershabat. Adek sangat berhati-hati dalam melangkahkan kakinya, dan mencoba meraih tangan si kakak tuk di jadikan pegangan. Kakak pun menggenggam erat tangan si adik, seolah seorang kakak yang takut jika terjadi sesuatu pada adeknya. Jarak beberapa meter lagi-lagi adek kehabisan energi dan kakak mengajak adek tuk ke tepi dan istirahat sejenak. Sampai beberapa kali istirahat. Di sepanjang jalan kakak terus menggenggam erat tangan si adek, sehingga membuat adek merasa tenang meski melewati jalan yang dirasa cukup licin. Dan meski dengan energi yang hampir habis, berkat di gandeng sang kakak adek pun bisa berjalan sampai puncak Gunung Muria. Sayangnya, udah sampai puncak namun tidak sempat ziarah ke makam mbah sunan karena adanya suatu hal yang darurat.
            Setelah sampai puncak, kakak dan adek kembali turun tuk mengunjungi tempat wisata air terjun montel. Disana kakak adek sempat salah jalur, seharusnya jalur masuk yang diambil mlah jalur keluar yang dilewati. Untung saja kakak adek sadar dan kembali mengambil jalur masuk. Dan melewati medan yang dianggap cukup licin lagi. Namun genggaman kakak gak pernah lepas dari adek, hingga buat adek gak merasa takut melewati medan yang gak nyaman baginyat. Setelah disepanjang jalan menikmati udara yang cukup sejuk, akhirnya sampai juga di air terjun yang begitu indah. Kakak dan adek pun mencari tempat di dekat air terjun dan menikmati pemandangan di sekitar air terjun. Banyak cowok yang mandi di bawah air terjun. Kakak pun ingin mandi disana, namun karena adek gak bisa ikut mandi jadi kakak mengurungkan keinginannya untuk mandi disana. Sambil menikmati air yang jatuh membentuk panorama yang indah, kakak dan adek berbagi cerita dengan sedikit gurauan dan celetukan melengkapi indahnya kisah di siang itu.
Hari sudah beranjak sore udarapun semakin dingin menusuk tulang, adek pun mengajak kakak pulang. Gengagaman itu tak henti menjaga adek, memberikan ketenangan bagi adek, hingga adek tak takut melawati jalan yang tak cukup bersahabat. Meski berjalan cukup jauh, namun sang kakak tak melepaskan genggaman itu dan mengarahkan jalan buat sang adek. Lelah pun tak terasa, kakak dan adek melanjutkan perjalanan untuk pulang. Turun gunung dengan mengendarai kendaraan roda dua, adek di boncengin kakak. Jalan yang cukup menantang keberanian karena turunan yang curam dan berbelok. Buat adek merasa ngeri, namun sang kakak meminta adek untuk pegangan saja. Adek pun memegangi kakak erat-erat. Setelah sampai bawah dan usai melewati jalan yang cukup menantang hati adek udah cukup tenang. Di perjalanan yang medannya sudah cukup stabil, kakak adek merasa ngantuk dan capek. Adek mencoba mengajak kakak ngobrol tuk menghilangkan rasa ngantuk. Tapi rasa ngantuk itu malah semakin menjadi yang dirasakan sang adek. Sebelum sampai rumah kakak mengajak adek untuk makan sore dulu. Setelah itu kakak mengantarkan adek pulang. Sebenarnya hari yang melelahkan namun adek tak merasakan hal itu. Senang dan bahagia yang adek rasa.
            Tersadar dari lamunannya, gadis lugu itu mengusap garis yang dibentuk oleh setetes air di kedua pipinya. “nie q ngapain sie, kok malah da air mata disini”. Tak sadar kalau dia telah membiarkan air jatuh dari mata hingga basahi pipinya. Pikirannya pun kembali melayang di hari kedua dia bertemu terakhir dengan kakak.
            Sore itu, sehabis adek menyelesaikan tugas di kantor PMI. Di pinggir jalan yang ramai adek menunggu sang kakak datang, yang sebelumnya sudah janjian bertemu kakak untuk berpamitan. Menit demi menit dilewati adek sambil melihat kendaraan yang silih berganti melaju, sesekali mencari-cari sang kakak. Menunggu cukup lama, akhirnya adek pun melihat sang kakak lewat namun sang kakak terus melaju melewati sang adek. Sang adek pun gelisah, kemanakah sang kakak?. Lalu adek menelusuri tepi jalan dan melihat sang kakak diujung jalan, segeralah sang adek menghampiri sang kakak. Kakak dan adek pun beranjak pergi mencari tempat tuk membicarakan banyak hal. Setelah menelusuri jalan demi jalan, kakak menghentikan kendaraannya dan meminta adek turun. Duduklah kakak dan adek di tepi halaman yang sangat luas.
            Obrolan pun dimulai, dari keluarga kakak sampai bidadarinya sang kakak. Yah, sang kakak udah punya bidadari yang turun dari wergu katanya. Bunda, begitu kakak memanggil bidadarinya yang baik hati dan cantik. Adek merasa dirinya bersalah, udah ajak jalan-jalan kakak tanpa sepengetahuan sang bunda. Tapi sang kakak mencoba menenangkan sang adek, bahwa bunda itu baik dia gak akan marah, bunda tau hubungan antara kakak dan adik. Memang sih, kakak udah mengenal adek lebih dulu sebelum mengenal bunda. Tapi rasa sayang bunda ke kakak lebih dulu di banding rasa sayang adik ke kakak. Sambil sesekali melihat anak-anak kecil bermain di tengah halaman tuk mengurangi ketegangan. Meneruskan perbincangan yang cukup menarik, tak lupa adek memberikan sebuah tasbih kecil buat kakak. Tasbih kecil yang dianggap cukup mewakili rasa sayang adek kepada sang, semuga memberikan manfaat buat sang kakak. Sang adek berharap tasbih kecil itu di jaga seperti sang kakak menjaga sang adek. Berharap tasbih kecil itu bisa menemani kakak disana, memberi semangat kakak tuk menjalankan tugas. Tak terasa 30 menit berlalu, sang kakak harus segera pulang tuk pergi ziarah ke makam dan keperluan lainnya. Sore itu merupakan awal masuk bulan Ramadhan 1434H.  Sore itu juga akhir pertemuan kakak dan adek sebelum lebaran.
            Tersadar kembali dari lamunannya, gadis lugu itu mencoba menjalani dan menerima apa yang ada. Mencoba bangkit dari tempat duduk dan siap-siap mandi lalu menyiapkan buka puasa, hari itu merupakan awal bulan Ramadhan.
Mungkin jatuh cinta memberikan dia trauma, sehingga buat dia tak mudah tuk jatuh cinta. Musti butuh waktu yang gak sebentar untuk dia merasakan jatuh cinta. Karena traumanya itu, rasa yang muncul padanya terlambat. Kakak yang udah menyayanginya lebih dulu, kini sudah menerima cinta dari sang bidadari. Gadis itu tak merasa kecewa, mungkin saja belum jodoh. Sang kakak akan mendoakan sang adek agar segera dapat kekasih yang baik seperti bidadarinya kakak. Gadis itu akan menanti pemilik tulang rusuk datang, yang mungkin saat ini masih di gembleng Allah agar menjadi pemilik tulang rusuk yang bertanggung jawab kelak nantinya. Kasih sayang adek buat kakak akan tetap selalu ada, lewat butiran tasbih kecil kasih sayang adek menemani kakak.

11/07/2013
Dari adek untuk kakak
From UY to SV