Wednesday, 2 October 2013

JUAL BELI DAN KHIYAR

A. PENDAHULUAN Agama Islam mengatur setiap segi kehidupan umatnya. Mengatur hubungan seorang hamba dengan Tuhannya yang biasa disebut dengan muamalah ma’allah dan mengatur pula hubungan dengan sesamanya yang biasa disebut dengan muamalah ma’annas. Hubungan dengan sesama inilah yang melahirkan suatu cabang ilmu dalam Islam yang dikenal dengan Fiqih muamalah. Aspek kajiannya adalah sesuatu yang berhubungan dengan muamalah atau berhubungan antara umat satu dengan umat yang lainnya. Mulai dari jual beli, sewa menyewa, hutang piutang dan lain-lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, setiap muslim pasti melaksanakan suatu transaksi yang biasa disebut dengan jual beli. Si penjual menjual barangnya, dan si pembeli membelinya dengan menukarkan barang itu dengan sejumlah uang yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Jika zaman dahulu transaksi ini dilakukan secara langsung dengan bertemunya kedua belah pihak, mka pada zaman sekarang jual beli sudah tidak terbatas pada satu ruang saja. Dengan kemajuan teknologi, dan maraknya penggunaan internet, kedua belah pihak dapat bertransaksi dengan lancar. B. RUMUSAN MASALAH 1. Apa pengertian, Rukun, Syarat dan Hukum Jual Beli? 2. Apa saja Macam- Macam Jual Beli? 3. Bagaimana Khiyar dalam Jual Beli? 4. Apa saja perkara dalam Jual Beli dan bagaimana hukumnya? C. PEMBAHASAN 1) Pengertian, Rukun, Syarat dan Hukum Jual Beli A. Pengertian Perdagangan atu jual beli menurut bahasa berarti al-Bai’, al Tijarah dan al-Mubadalah, sebagaimana Allah SWT. Berfirman : ير جو ن تجارة لن تبو ر Artinya : “Mereka mengharapkan tijarah (perdagangan ) yang tidak akan rugi. (Fathir : 29) Menurut istilah (terminology) yang dimaksud dengan jual beli adalah sebagai berikut: a. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan. b. تمليك عين مالية بمعاوضة با ذ ن شر عي Artinya : “Pemilikan harta benda dengan jalan tukar-menukar yang sesuai dengan aturan syara.” c. عقديقوم على أساس مبا د لة المال با لما ل ليفيد تبا د ل الملكيا ت على الد وا م Artinya : “Aqad yang tegak atas dasar penukaran harta dengan harta, maka jadilah penukaran hak milik secara tetap.” Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa inti jual beli ialah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedan dua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati. B. Rukun dan Syarat Jual Beli  Rukun jual beli ada tiga yaitu : 1) Akad (ijab kabul ) Ialah ikatan kata atara penjual dan pembeli. Jual beli belum dikatakan sah sebelum ijab dan Kabul dilakukan dan menunjukkan kerelaan (keridhoan). Pada dasarnya ijab kabul dilakukan dengan lisan, tetapi kalau tidak mungkin, misalnya bisu atau yang lainnya, boleh di lakukan dengan surat-menyurat yang mengandung arti ijab kabul, Rasullah SAW bersabda : قال النبي ص م إ نما البيع عن تراض Artinya : “Rasulullah SAW bersabda : sesungguhnya jual beli hanya sah dengan saling merelakan.” (Riwayat Ibn Hibban dan Ibn Majah) Menurut ulama Syafi’iyah, لا ينعقد البيع الا باصفة الكلا مية Artinya : “ Tidak sah akad jual beli kecuali dengan shigat (ijab Kabul) yang di ucapkan.”  Syarat-syarat sah ijab kabul (akad): Menurut madzhab Syafi’iyah Syarat yang berkaitan dengan ijab kabul, yaitu : berupa percakapan dua pihak, pihak pertama menyatakan barang dan harganya, qabul dinyatakan oleh pihak kedua, antara ijab dan kabul tidak terputus dengan percakapan lain, kalimat qabul tidak berubah dengan qabul yang baru, terdapat kesesuaian antara ijab dan kabul, shigat akad tidak digantungkan dengan sesuatu yang lain, dan tidak dibatasi oleh periode waktu tertentu. 2) Orang-orang yang berakad Yaitu penjual dan pembeli  Syarat-syarat orang yang melakukan akad adalah sebagai berikut: a) Baligh berakal agar tidak mudah di tipu orang. Firman Allah                •  Artinya: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya[268], harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” b) Beragama Islam, khusus untuk pembeli saja. Firman Allah SWT.             •                           Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah Kami (turut berperang) beserta kamu ?" dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah Kami turut memenangkanmu[363], dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” 3) Ma’kud alaih Ialah benda-benda atau barang yang diperjualbelikan.  Syarat-syarat benda yang menjadi objek akad ialah sebagai berikut : a) suci atau mungkin untuk disucikan sehingga tidak sah penjualan benda-benda najis seperti anjing, babi, dan yang lainnya, Rasulullah SAW bersabda : عن جابر ر ض أن رسول الله ص م قال إن الله ورسوله حرم بيع الخمر والميتة والخنزير والا صنام (رواه البخارى و مسلم) Artinya : “Dari Jabir r.a Rasulullah Saw bersabda : sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan penjualan arak, bangkai, babi, dan berhala.” (HR. Bukhari dan Muslim) b) member manfaat menurut Syara’, maka dilarang jual beli benda-benda yang tidak boleh diambil manfaatnya menurut Syara’. c) Jangan di taklikan, yaitu dikaitkan atau digantungkan kepada hal-hal lain. d) Tidak di batasi waktunya e) Barang-barang yang sudah hilang atau barang-barang yang sulit diperoleh kembali karena samar. f) Milik sendiri. g) Diketahui (dilihat), barang yang diperjualbelikan harus dapat diketahui ukurannya, maka tidaklah sah jual beli yang menimbulkan keraguan salah satu pihak. C. Hukum Jual Beli Dilihat dari kandungan ayat-ayat dan redaksi hadist di atas, para ulama fiqih sepakat bahwa hukum asal jual beli adalah halal atau boleh. Hal ini dikarenakan umat manusia sangat membutuhkan jual beli untuk memenuhi kebutuhan makan, minum, pakaian tempat tinggal, kendaraan dan sebagainya. Akan tetapi, pada situasi tertentu hukum asal ini dapat berubah. Karena hukum asalnya adalah halal, maka apabila ada salah satu dari berbagai macam jual beli dianggap haram, maka yang menganggap demikian harus menunjukkan dalil dan alasannya. Sebagaimana kaidah yang menyatakan bahwa hukum muamalah itu boleh, sampai ada dalil yang mengharamkannya. 2) Macam- Macam Jual Beli Macam jual beli di tinjau dari segi hukumnya Jual beli dinyatakan sah atau tidak sah bergantung pada pemenuhan syarat dan rukun jual beli yang telah dijelaskan di atas. Dari sudut pandang ini, jumhur ulama membaginya menjadi dua, yaitu: 1) Shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya 2) Ghairu Shahih, yaitu jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukunnya. Sedangkan fuqoha atau ulama Hanafiyah membedakan jual beli menjadi tiga, yaitu: a) Shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya b) Bathil, adalah jual beli yang tidak memenuhi rukun dan syarat jual beli, dan ini tidak diperkenankan oleh syara’, misalnya: o Jual beli atas barang yang tidak ada ( bai’ al-ma’dum ), seperti jual beli janin di dalam perut ibu dan jual beli buah yang tidak tampak. o Jual beli barang yang zatnya haram dan najis, seperti babi, bangkai dan khamar. o Jual beli bersyarat, yaitu jual beli yang ijab kabulnya dikaitkan dengan syarat-syarat tertentu yang tidak ada kaitannya dengan jual beli. o Jual beli yang menimbulkan kemudharatan, seperti jual beli patung, salib atau buku-buku bacaan porno. o Segala bentuk jual beli yang mengakibatkan penganiayaan hukumnya haram, seperti menjual anak binatang yang masih bergantung pada induknya. c) Fasid, yaitu jual beli yang secara prinsip tidak bertentangan dengan syara’ namun terdapat sifat-sifat tertentu yang menghalangi keabsahannya, misalnya: o jual beli barang yang wujudnya ada, namun tidak dihadirkan ketika berlangsungnya akad. o Jual beli dengan menghadang dagangan di luar kota atau pasar, yaitu menguasai barang sebelum sampai ke pasar agar dapat membelinya dengan harga murah o Membeli barang dengan memborong untuk ditimbun, kemudian akan dijual ketika harga naik karena kelangkaan barang tersebut. o Jual beli barang rampasan atau curian. o Menawar barang yang sedang ditawar orang lain. Rasulullah bersabda: لاَ يَسُوْمُ الرَّجُلُ عَلَى سَوْمِ أَخِيْهِ (رواه البخارى و مسلم) “ Tidak boleh seseorang menawar di atas tawaran saudaranya” (HR.Bukhari & muslim ) Di tinjau segi benda ynag di jadikan obyek, yang di kemukakan oleh imam Taqiyuddin bahwa jual beli di bagi menjadi 3 macam 1) Jual beli benda yang kelihatan. Yaitu pada waktu melakukan akad jual beli benda atau barang yang di perjual belikan ada di depan penjual dan pembeli. Hal ini lazim dilakukan masyarakat banyak dan boleh dilakukan, seperti membeli beras di pasar. 2) Jual beli benda yang disebutkan sifat-sifatnya dalam janji. Yaitu jual beli salam (pesanan). Menurut kebiasaan para pedagang, salam adalah untuk jual beli yang tidak tunai (kontan). 3) Jual beli benda yang tidak ada serta tidak dapat dilihat. Yaitu jual beli yang dilarang oleh agama islam karena barangnya tidak tentu atau masih gelap sehingga dikhawatirkan barang tersebut diperoleh dari curian atau barang titipan yang akibatnya dapat menimbulkan kerugian salah satu pihak. Ditinjau dari segi pelaku akad (subyek), jual beli terbagi menjadi 3 macam 1) Akad jual beli yang dilakukan dengan lisan. Adalah akad yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Bagi orang bisu bisa diganti dengan isyarat, hal yang dipandang dalam akad adalah maksud atau kehendak dan pengertian, bukan pembicaraan dan pernyataan. 2) Akad jual beli yang dilakukan dengan perantara. Yaitu jual beli yang dilakukan antara penjual dan pembeli tidak berhadapan dalam satu majelis akad. Tetapi melalui Pos dan Giro, jual beli seperti ini dibolehkan menurut syara. 3) Akad jual beli yang dilakukan dengan perbuatan. Dikenal dengan istilah mu’athah yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa ijab kabul, seperti seseorang mengambil rokok yang sudah bertuliskan label harganya, dibandrol oleh penjual dan kemudian diberikan uang pembayarannya kepada penjual. Jual beli dengan cara demikian dilakukan tanpa sighat ijab kabul antara penjual dan pembeli. 3) Khiyar dalam Jual Beli Dalam jual beli, menurut agama islam di bolehkan memilih, apakah akan meneruskan jual beli atau akan membatalkannya. Khiyar dibagi menjadi 3 macam yaitu: 1) Khiyar majelis, artinya antara penjual dan pembeli boleh memilih akan melanjutkan jual beli atau membatalkannya. Selama keduanya masih ada dalam satu tempat. 2) Khiyar syarat, artinya penjualan yang di dalamnya disyaratkan sesuatu baik oleh penjual maupun oleh pembeli, 3) Khiyar ‘aib, artinya dalam jual beli ini di isyaratkan kesempurnaan benda-benda yang dibeli. 4) perkara dalam Jual Beli dan hukumnya. Dalam jual beli terdapat beberapa perkara yang menyangkit masalh jual beli itu sendiri diantaranya adalah: 1) berselisish dalam jual beli penjual dan pembeli dalam melakukan jual beli hendaknya berlaku jujur. Para pedagang yang jujur, benar, sesuai dengan ajaran islam dalam berdagangnya didekatkan dengan para nabi, para sahabat dan orang-orang yang mati syahid pada hari kiamat. التا جرالصدوق الامين مع النبيين والصديقين والشهداء (رواهالترمذى) “pedagang yang jujur dan terpercaya dikumpulkan bersama para nabi, sahabat-sahabat dan orang-orang yang mati syahid” (Riwayat Tirmidzi) Bila antara penjual dan pembeli berselisih pendapat dalam suatu benda yang diperjual belikan, maka yang dibenarakan ialah kata-kata yang punya barang, bila antara keduanya tidak ada saksi dan bukti lainnya. اذااحتلف البيعان وليس بينهما بينهما بينة فهو ما يقول رب السلعة اويتناركان (رواهابوداود) “bila penjual dan pembeli berselisih dan antara keduanya tak ada saksi, maka yang dibenarkan adalah perkataan yang punya barang atau dibatalkan” (Riwayat Abu Dawud) 2) Badan perantara Badan perantara dalam jual beli disebut pula simsar, yaitu seseorang yang menjualkan barag orang lain atas dasar bahwa seseorang itu akan diberi upah oleh yang punya barang sesuai dengan usahanya. عن ابن عباس ر.ض. فى معن السمسار قال: لابآس ان يقول بع هذا الثوب بكذافمازادفهولك (رواه البخار) “dari ibnu Abbas r.a., dalam perkara simsar ia berkata tidak apa-apa, kalau seseorang berkata juallah kain ini dengan harga sekian, lebihdari penjualan harga itu adalah untuk engkau” (HR. Bukhari) Berdagang secara simsar dibolehkan berdasarkan agama asal dalam pelaksanaannya tidak terjadi penipuan dari yang satu terhadap yang lainnya. 3) Lelang (muzayadah) Penjualan dengan cara lelang disebut muzayadah. Penjualan seperti ini dibolehkan oleh agama islam karena dijelaskan dalam satu keterangan: عَنْ اَنَسٍ ر.ض. قَالَ بَاعَ النَّبِيُّ ص.م. حِلْسًا وَقَدَحًا قَالَ مَنْ يَشْتَرِيْ هَذَا الْحِلْسَ وَالْقَدَحَ فَقَالَ رَجُلٌ اَخَذْ تُهُمَا بِدِرْهَمٍ فَقَالَ النَّبِيُّ مَنْ يَزِيْدُ فَاَعْطَاهُ رَجُلٌ دِرْ هَمَيْنِ فَبَاعَهُمَا مِنْهُ (رواه هلترمذي) “Dari Anas r.a., ia berkata, Rasulullah SAW. Menjual sebuah pelana dan sebuah mangkok air dengan berkata siapa yang mau membeli pelana dan mangkok ini? seorang laki-laki menyahuti, aku bersedia membelinya seharga satu dirham. Lalu Nabi berkata lagi, siapa yang menambahi? Maka diberi dua dirham oleh seorang laki-laki kepada beliau, lalu dijuallah kedua benda itu kepada laki-laki tadi” (HR. Tirmidzi) 4) Penjualan Tanah Bila seseorang menjual sebidang tanah atau lapangan, sedangkan di dalamnya terdapat pohon-pohon, rumah-rumah, dan yang lainnya, menurut Madzhab Syafi’i semua bangunan dan pohon-pohonan yang berada di atas tanah itu turut terjual, tetapi tidak termasuk di dalamnya barang-barang yang dapat diambil sekaligus, seperti padi, jagung, bawang, dan tanaman sejenis lainnya. Menurut Syafi’i boleh menjual tanah yang sedang ditanami, seseorang menjual sebidang tanah di dlaamnya ada benih dan tanamannya. Kalu menjula tanah itu tidak dipisahkan dari prnjualan benih dan tanaman itu, penjualan itu batal sebab tidak jelas, apakah hanya tanah saja atau tanah dengan tanaman dan biji-bijiannya. 5) Buah-buahan yang rusak setelah dijual. Buah-buahan yang sudah dijual kemudian rusak, maka kerusakan itu tanggungan penjual, bukan pembeli. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Saw. لَوْ بِعْتَ مِنْ اَخِيْكَ ثَمَرًا فَاَصَابَهُ جَا ئِحَةٌ فَلَا يَحِلُّ لَكَ اَنْ تَاْ خُذَ مِنْهُ شَيْئًا بِمَا تَاْخُذُ مَا لَ اَخِيْكَ بِغَيْرِ حَقِّ (رواه مسلم) “Jika engkau elah menjual buah-buahan kepada saudaramu, lalu buah-buahan itu rusak (busuk), maka haeram bagimu mengambil sesuatu darinya, apakah kamu mau mengambil harta saudaramu dengan tidak hak” (HR. Muslim). D. KESIMPULAN Jual beli adalah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedan dua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati. Rukun jual beli adalah Akad (ijab kabul ), orang-orangyang berakad dan obyek akad. Hukum jual menurut islam adalah halal. Macam jual beli diantaranya di tinjau dari segi hukum, obyek dan subyek. Khiyar dalam jual beli diantaranya adalah Khiyar Majelis, Khiyar Syarat, Khiyar Aib. Perkara-perkara dalam jual beli dan hukumnya diantaranya berselisih dalam jual beli, benda perantara, lelang, penjualan tanah, buah-buahan yang rusak setelah dijual. DAFTAR PUSTAKA As-Sa’di, Abdurrahman. dkk., Fiqih Jual beli. Jakarta: Senayan Publishing. 2008. Ihsan, Ghufron. dkk. Fiqh Muamalat. Yogyakarta: Prenada Media Group. 2010. Mas’adi, Ghufron A. Fiqh Muamalah kontekstual. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1997 . Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2002.

No comments:

Post a Comment