Thursday, 20 March 2014

FIQIH KLASIK DAN MODERN

FIQIH KLASIK DAN MODERN
Makalah
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Masail Fiqhiyah
Dosen : Hasanain Haikal, SH., MH.

 











Disusun Oleh :

1.        M. Imam Rifa’i                            (110228)
2.        Erie Nurdiansyah                         (111196)
3.        Musyaifin                                     (111202)
4.        Khirun Nisa’                                 (111209)
5.        Ulya Wiji Astutik                         (111214)
6.        M. Akhlis                                     (111222)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN TARBIYAH / PAI
2014



FIQIH KLASIK DAN MODERN

A.  LATAR BELAKANG
Turunnya syari’at pada dalam arti proses munculnya hukum-hukum syari’at hanya terjadi masa kenabian, sebab syari’at turun dari Allah dan itu berakhir dengan turunnya wahyu setelah Nabi SAW wafat. Dan disaat itu pula hukum syari’at belum dibuat oleh Nabi SAW sendiri.[1]
Selanjutnya para fuqoha dan mujtahidin bukan membuat hukum tetapi mencari dan menyimpulkannya dari sumber-sumber hukum yang benar. Dalam perkembangan kajian-kajian tentang syari’at yang mulai berkembang, banyak memunculkan pemikir-pemikir hukum syari’at sesuai dengan zaman dan tempat asalnya sehingga pola pemikiran mereka tidak sedikit terpengaruh dengan kondisi dan situasi tempat tinggal mereka. 
Dari sini kita akan memilah perkembangan fiqh sesuai dengan zaman dan pola pemikiran para pencetusnya, serta adakah hubungan pola pemikiran terdahulu dengan yang sekarang? Kita akan bahas di bab selanjutnya.
B.  RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah sesuai latar belakang diatas adalah sebagai berikut:
1.    Apa pengertian Fiqh Klasik?
2.    Apa Pengertian Fiqh Kontemporer dan Bagaimana Relevansinya dengan Fiqh Klasik?
3.    Seperti apa akar masalah dari Fiqh Kontemporer, jilbab dalam perspektif Hukum Islam, Pancasila, dan UUD 1945
C.  PEMBAHASAN
1.    Fiqih Klasik
Karakteristik fiqh, bahwa ia muncul tidak sekedar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pada zamannya, tetapi telah juga menyiapkan suatu warisan berharga untuk pembangunan hukum masa depan.
Fiqh klasik banyak berisi hukum Islam yang mengatur pelaksanaan ibadah-ibadah, yang dibebankan pada Muslim yang sudah Mukallaf yaitu kaitannya dengan lima prinsip pokok (wajib, sunnah, haram, makruh, mubah), serta yang membahas tentang hukum-hukum kemasyarakat (muamalat).
Untuk memperoleh gambaran secara komprehensif dari karakteristik fiqh ini, ada beberapa periode perkembangan fiqh dari awal perkembangan sampai kebangkitan kembali fiqh dewasa ini, dimulai dari munculnya pergolakan mengenai theologis, yaitu adanya pengafiran kepada seorang muslim yang melakukan dosa besar yang terjadi pada masa kekhalifahan Utsman dan Ali dan melebar pada pemerintahan Daulah Umayyah, munculnya sekte dalam islam, dan juga pergolakan dalam masalah politik dan sosial, Sementara perkembangan fiqh juga terkena imbas dari adanya pergolakan tersebut. Kemudian pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyyah, pemerintah tidak ikut campur dalam masalah fiqh, sehingga para fuqoha lebih leluasa mengembangkan kajian-kajian fiqhiyyah.
Terlepas dari itu semua ada enam dalam perkembangan fiqh. Periode pertama, fiqh dalam era kenabian. Meskipun periode pertama ini lebih mrupakan masa turunnya syari’at, tetapi keberhasilan Nabi dan para sahabat dalam menyikapi hukum islam mampu mewariskan suatu keniscayaan bagi perkembangan kajian-kajian fiqh pada era berikutnya.
Periode Kedua adalah pada masa Khulafaurrasyidin, pada periode ini perkembangan fiqh masih tetap seperti periode pertama, meskipun ada perluasan wilayah islam dan bercampurnya orang arab dengan non arab turut mengadirkan tuntutan bagi perkembangan fiqh, kajian-kajian itu semakin intens ketika Abu Bakar berinisiatif mengumpulkan al-Qur’an dan Utsman bin Affan yang menerbitkan bacaannya. Pada saat itu mulailah terjadi dari sahabat dalam memahami nash.
Periode ketiga adalah fiqh dalam era shigar shahabat dan tabi’in. Perluasan wilayah islamya yang sendirinya menjadikan para fuqoha tersebar di seluruh daerah yang telah dibuka memberikan pengaruh tersendiri pada perkembangan fiqh. Diantara pengaruh yang terpenting adalah munculnya dua kecenderungan dalam  fiqh; kecenderungan ahli hadits di Hijas dan kecenderungan ahli Ra’yi (pemikiran) di Irak. Kedua kecenderungan ini sama-sama mengkaji fiqh dengan metodenya yang khusus dan tidak jarang melakukan tanya jawab, munadharah, diskusi dan tanggapan konstruktif sehingga memperkaya khazanah fiqh.
Periode keempat adalah fiqh dalam era keemasan. Seiring dengan perkembangan gerakan ilmiah dan kodifikasi ilmu dalam islam, Tsarwah fiqhiyyah (kekayaan fiqh) mencapai puncak keemasannya yang ditandai munculnya empat mazhab fiqh dalam islam - mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali – yang hingga kini tetap menjadi kerangka rujukan umat islam.
Masing-masing menawarkan metodologi tersendiri dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pijakan dan landasan pengambilan hukum. Meskipun kita yakin mereka tidak bermaksud membentuk madzhab-madzhab tertentu, tetapi kedalaman kajian-kajian fiqh telah teruji dalam perjalanan sejarah yang cukup panjang dan dianggap cukup representatif untuk menjadi pegangan dalam beberapa masa. Tetapi itu tidak berarti konsepsi mereka sudah final, bahkan dalam batas-batas tertentu, lahirnya madzhab ternyata sangat dipengaruhi faktor sosial budaya, politik dan kecenderungan para imam yang membentuk karakteristik, teori dan formula yang berbeda, meskipun sama-sama berpegang pada al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber utama, madzhab Hanafi bercorak rasional, madzhab Maliki yang cenderung tradisional, dan madzhab Syafi’i yang moderat serta madzhab Hambali yang fundamental. Bukanlah karena pembawaan kepribadian masing-masing imam itu, tetapi – seperti diuraikan oleh Dr. Farouq Abu Zaid dalam bukunya as-Syari’ah al-Islamiyyah bayn al-Muhafidhin wa al-Mujahidin  - merupakan refleksi logis dari situasi kondisi masyarakat dimana hukum itu tumbuh.[2] Dalam periode ini juga mulai dirintis penulisan tafsir, hadits, fiqh dan ushul fiqh.
Periode kelima adalah fiqh dalam era jumud dan stagnasi. Lemahnya kekuasaan kaum muslimin dan terpecah-belahnya kekuatan mereka banyak mempengaruhi kemacetan dan kejumudan fiqh. Pada periode ini muncul fatwa ulama' yang terkenal bahwa “pintu ijtihad telah ditutup” dan terjadilah fanatisme yang berlebihan terhadap mazhab-mazhab tertentu. Betapapun sejarah juga mencatat jasa-jasa para fuqoha yang tidak kecil dalam memperkaya tsarwah fiqhiyyah, seperti penulisan syarh (penjelasan) dari buku-buku fiqh aimmatul madzahib (para imam madzhab), takhrij (mentahqiq haditsnya)dan tarjih (studi komparatif) antara satu madzhab dengan madzhab lainnya.
Periode keenam adalah fiqh dalam era kebangkitan kembali yang dimulai pada abad ke-13 H. Hingga sekarang ini yang diantaranya, ditandai dengan menipisnya fanatisme madzhab dan usaha keras fuqaha dan mujtahidin untuk menghidupkan kembali kajian fiqh. [3]
2.    Fiqih Kontemporer
1)   Latar Belakang Munculnya Isu Fiqh Kontemporer
Adapun yang melatar belakangi munculnya isu Fiqh Kontemporer ada beberapa hal, diantaranya;
a.    Akibat arus modernisasi yang meliputi hampir sebagian negara-negara yang dihuni oleh mayoritas umat islam. Dengan adanya arus modernisasi tersebut, mengakibatkan munculnya berbagai macam perubahan dalam tatanan sosial umat islam, baik yang menyangkut ideologi, politik, sosial, budaya dan lain sebagainya. Berbagai perubahan tersebut seakan-akan cenderung menjauhkan umat dari nilai-nilai agama. Hal tersebut terjadi karena kemajuan modernisasi tidak diimbangi dengan pembaharuan pemikiran keagaman.
b.    Telah mapannya sistem pemikiran barat (hukum positif) di mayoritas negeri muslim yang secara faktual lebih mudah diterima dan diamalkan, akan tetapi dalam penerimaan konsepsi barat tersebut tetap merasakan adanya semacam “kejanggalan” baik secara psikologis, sosiologis, maupun politis. Tetapi belum terwujudnya konsepsi islam yang lebih kontekstual, maka dengan rasa tidak keberdayaan mereka mengikuti konsepsi yang tidak islami. Hal itu akhirnya menggugah naluri para pakar hukum islam untuk segera mewujudkan fiqh yang relevan dengan perkembangan zaman.
c.    Masih terpakunya pemikiran fiqh klasik dengan pemahaman tekstual, ad hoc dan parsial, sehingga kerangka sistematika pengkajian tidak komprehensif dan aktual, sekaligus kurang mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman yang ada.
Menurut Dr. Yusuf Qardlawi dalam satu kitabnya secara implisit mengungkapkan betapa diperlukan fiqh kontemporer dimasa ini:
Dengan adanya kemajuan yang cukup mendasar itu, timbullah pertanyan bagi kita, mampukah ilmu fiqh menghadapi zaman modern? masih relevankah hukum islam-yang lahir 14 abad islam-diterapkan sekarang? tentu saja kita sebagai muslim akan menjawabnya, hukum islam mampu menghadapi zaman, dan masih relevan untuk diterapkan “tidak asal bicara”, memang. tetapiuntuk menuju kesana perlu syarat yang harus dijalani secara konsekuen untuk merealisir tujuan penciptaan fiqh kontemporer tersebut, Qardlawi menawarkan konsep ijtihad; ijtihad perlu dibuka kembali. menapaktilasi apa yang telah dilakukan oleh ulama’ salaf.
Berkenaan dengan munculnya isu fiqh kontemporer tersebut, yakni bagaimanapun pemikiran ulama bisa dipertanyakan kembali berdasarkan kriteria Al-Qur’an dan Sunnah. disisi lain pertimbangan maslahah dapat dijadikan rujukan dalam upaya penyesuaian fiqh dengan zaman yang berkembang. perbedaan antara syari’ah dengan fiqh menjadi peluang timbulnya pengkajian fiqh kontemporer.[4]
2)   Ruang Lingkup Kajian Fiqh Kontemporer
Yang dimaksud dengan ruang lingkup kajian Fiqh Kontemporer disini mencakup: Pertama, masalah-masalah Fiqh yang berhubungan dengan situasi kontemporer (modern). Kedua, wilayah kajian dalam Al-Qur’an dan hadits.
a.    Kajian Fiqh Kontemporer tersebut dapat dikategorikan kedalam beberapa aspek:
1)   Aspek hukum keluarga, seperti pembagian harta waris, akad nikah via telepon, perwkafan, nikah hamil, KB, dll.
2)   Aspek ekonomi, seperti ; sistem bunga (Interest) dalam bank, kredit dan arisan, zakat profesi, asuransi, dll.
3)   Aspek pidana, seperti : hukum pidana islam dalam sistem hukum nasional
4)   Aspek kewanitaan, seperti : busana muslimah (jilbab), wanita karir, dll.
5)   Aspek medis, seperti : Transplantasi organ tubuh, pembedahan mayat, euthanasia, infertilitas dan fertilitas, pemilihan jenis kelamin dll.
6)   Aspek teknologi, seperti : menyembelih hewan secara mekanis, penggunaan hisab dengan meninggalkan rukyat, memberi salam dengan bel, seruan azan dengan kaset, makmum kepada radio atau tv.
7)   Aspek politik, seperti : proses pemilihan pemimpin, loyalitas pada penguasa, perbedaan sekitar istilah “negara Islam”. dll.
8)   Aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah, seperti : tabungan haji, ibadah qurban dengan uang, tayamum dengan selain tanah (debu), menahan haid karena ibadah haji, dll.
b.    Mengenai wilayah kajian yang berkenaan dengan Al-Qur’an dan Hadits yang erat hubungannya dengan fiqh kontemporer, antara lain: metodologi pemahaman hukum islam (Ushul Fiqh), persoalan sosiologis dan historis ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits, keterbukaan kembali pintu ijtihad, soal kemaslahatan umum, adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat dll.[5]
3)   Relevansi Fiqh Kontemporer dengan Doktrin Fiqh Klasik
Prof. Dr. Harun Nasution membagi ciri pemikiran islam kedalam tiga zaman, yakni Klasik (abad VII-XII), Pertengahan (tradisional) abad XIII-XVIII, dan Modern (kontemporer) abad IX.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, metode berfikir ulama klasik terikat langsung dengan al-Qur’an dan Hadits, sehingga banyak melahirkan ijtihad yang kualitatif. Sedangkan pemikiran zaman pertengahan menjadi lebih terikat sekali dengan hasil pemikiran ulama klasik. Dalam menghadapi masalah-masalah baru mereka tidak lagi secara langsung menggali al-Qur’an dan hadits, melainkan lebih banyak terikat dengan produk pemikiran ulama zaman klasik, sehingga orisinalitas pemikiran semakin berkurang dan cenderung dogmatis. Maka bekulah pemikiran serta kurang mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Di zaman modern ini, banyak umat islam yang masih juga terpaku dengan pola pemikiran islam abad pertengahaan, hanya sebagian kecil yang memakai pola pemikiran rasional zaman klasik. Sebenarnya bila umat islam ingin maju dan punya kemampuan mengantisipasi perkembangan zaman modern, pola pemikiran ulama klasik sudah selayaknya dikembangkan. Walaupun menghasilkan produk fiqh yang berbeda karena perbedaan situasi dan kondisi yang ada. Disinilah letak relevansinya antara fiqh kontemporer dan fiqh klasik. Tetapi yang jelas pemikiran kontemporer tidak mesti terikat dengan pemikiran klasik maupun pertengahan, bila ternyata tidak relevan dengan persoalan yang ada; tetapi yang masih relevan tetap dijadikan pegangan.[6]
4.    Akar masalah dari Fiqh Kontemporer, jilbab dalam perspektif Hukum Islam, Pancasila, dan UUD 1945
Ada yang mengatakan bahw ahukum islam itu tidak berubah dan tetap, maka yang dimaksudkan dengan kata hukum islam di sini adalah bermakna syariah tau hukum syara’. Yakni ajaran Allah yang kebenarannya bersifat mutlak dan telah lengkap sempurna. Jika dikatakan bahwa hukum islam itu berubah dan dapat dikontekstualisasikan sesuai dengan perkembangan dan perubahan zama, maka itu mrupakan hukum islam bermakna fiqih, sebagai hasil ijtihad dan interpretasi manusia (mujtahid) terhadap ajaran syari’ah yang kebenarannya bersifat relatif.[7]
Dari sekian banyak per soalan yang aktual dalam masyarakat Indonesia saat ini banyak yang melahirkan pro dan kontra diantaranya adalah masalah kewajiban memakai jilbab bagi wanita muslimah, yang kadang-kadang dianggap oleh sebagian orang hanya sebagai budaya Arab. Bahkan ada pula yang memandangnya, bahwa hal itu bertentangan dengan peraturan atau perundang-undangan yang ada di Indonesia.
a)    Pandangan Hukum Islam Terhadap Jilbab[8]
Kata jilbab berasal dari bahasa arab yang berarti penghalang. Penutup dan pelindung, sarung, kemeja, kerudung / selendang. Sedangkan menurut istilah Al Qurthubiy mengatakan, jilbab adalah pakaian yang lebih besar dari kerudung yang dapat menutupi seluruh badan wanita. Jadi dapat disimpulkan bahwa jilbab adalah pakaian wanita islam yang dapat menutup auratnya yang diwajibkan oleh agama untuk menutupnya, guna kemaslahatan wanita itu dna masyarakat tempat ia berada.
Menurut bahasa aurat bearti malu, aib, dan buruk. Menurut istilah dalam hukum islam, aurat berati batas minimal dari bagian tubuh yang wajib ditutup karena perintah Allah SWT. Jadi, aurat adalah sesuatu anggota yang harus ditutup dan dijaga hingga tidak menimbulkan kekecewaan dan malu.
Batas aurat wanita berbeda-beda, perbedaannya bergantung dengan siapa wanita itu berhadapan, yang secara umum dapat diikhtisarkan sebgai berikut:
·      Aurat wanita berhadapan dengan Allah SWT. (shalat), seluruh tubuhnya kecuali mmuka dan telapak tangan.
·      Aurat wanita berhadapan dengan mahramnya, dalam hal ini menurut ulama berbeda-beda, yaitu:
ü Al Syafi’iyah berpendapat bahwa aurat wanita berhadapan dengan mahramnya, adalah antara pusat dan lutut.
ü Al Malikiyah dan aAl Hambaliyah berpendapat, bahwa aurat wanita berhadapan dengan mahramnya yang laki-laki, adalah seluruh badannya kecuali muka, kepala, leher, kedua tangan dna kedua kakinya.
·      Aurat wanita berhadapan dengan orang bukan mahramnya
Ulama telah bersepakat mengatakan bahwa selain wajah, kedua telapak tangan, dna kedua telapak kaki serta seluruh badan wanita adalah aurat, tidak halal dibuka apabila berhadapan dengan laki-laki asing, bedasarkan firman Allah SWT.. dalam surah al Ahzab ayat 59dan surah An Nur ayat 31, juga hadits Rasul yang diriwayatkan oleh Turmudzi.
Hukum menutup aurat adalah wajib  bagi seluruh wanita yang beriman. Menutupa aurat merupakan suatu kewajibanyang harus dilaksanakan oleh setiap pribadi orang yang beragama islam dengan tanpa menanyakan mengapa.siapa yang melaksanakan kewajiban itu akan mendapatpahala, karena ia telah melaksanakan nya ia akan berdosa.
Hikmah menutup aurat dan memakai jilbab diantaranya adalah:
o  Menutup aurat / mengenakan jilbab akan mendapat pahala, karena ia telah melaksanakan perintah yang diwajibkan Allah SWT.
o  Wanita yang berjilbab terlihat sederhna dan penuh wibawa, sehingga membuat orang lain langsung menaruh hormat, segan, dan mengambil jrak secara wajar antara wanita dan pria, sehingga godaan bisa tercegah semaksimal mungkin.
o  Pakaian merupakan cermin jiwa, sehingga jiwa seorang perempuan yang yang beriman kuat maka dia akan melaksanakan perintah Allah dengan menutup aurat dan berjilbab. Meskipun  berbagai hal yang menghalanginya.
o  Jilbab kaitannya dengan ilmu kesehatan adalah sebagai pelindung rambut dari penyinaran atau radiasi, karena meskipun rambut membutuhkan oksigen tapi rambut mengandung phaspor, calsium, magnesium, pigmen dan kholestryl dengan palmitate yang membentuk kholesteryl palmitate yang sangat labil akibat penyinaran atau radiasi.
o  Jilbab kaitannya dengan ilmu ekonomi adalah wanita berjilbab akan lebih dapat menghemat anggaran belanja dan waktu. Karena mereka tidak akan membutuhkan macam-macam alat kosmetik dan model-model baju sesuai dengan perubahan zaman.
Kriteria busana untuk menutup aurat:
§  Busana dapat menutupseuruh aurat yang wajib ditutup.
§  Busana tidak merupakan pakaian untuk dibanggakan atau busnana yang menyolok mata.
§  Busana tidak tipis (transparan)
§  Busana agak longgar / jangan terlalu sempit (ketat).
§  Berbeda dengan pakaian khas pemeluk agama lain
§  Busana wanita tidak sama dengan pakaian pria atau sebaliknya
§  Busana tidak merupakan bentuk perhiasan kecantikan.
b)        Pandangan pancasila terhadap Jilbab[9]
Dalam Tap. MPR-RI No. II/MPR/1978, tanggal 22 Maret 1978, disebutkan antara lain: sadar bahwa agama dan kepercayaan kepada Tuhan YME, adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi sengan Tuhan YME yang dipercayai dan diyakini, maka dikembangkanlah sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan.
Hal ini dipertegas oleh Mantan Presiden RI. Dalam kitab pandangan presiden Soeharto tentang Pancasila halaman 27 mengatakan: Negara diwajibkan menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaan itu.
Disini jelas kita dapat melihat bahwa memakai jilbab, tidak bertentangan dengan pancasila, bahkan negara menjamin / wajib menjamin wanita islam untuk memakai jilbab. Karen berbusana muslimah adalah merupakan ibadah.
c)        Pandangan UUD 1945 terhadap Jilbab[10]
Pada Bab XI pasal 29, ayat 2 UUD 1945 mengatakan : negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaan itu.
Setiap pribadi muslimah harus menyadari bahwa bebrusana muslimah adalah ibadah yang diwajibkan oleh Allah SWT. Oleh sebab itu wajib dilaksanakan, agar terlepas dari azab Allah SWT. Kepala rumah tangga harus menyadarkan, menyuruh, dan menggalakkan setiap muslimah yang ada di dalam keluarganya untuk berbusana muslimah dan berkewajiban untuk mengontrol pelaksanaannya.selain itu yang bertanggung jawab dalam penyiaran berjilba b adalah Pimpinan masyarakat, Para Pendidik, Peranan Media Massa, para perancang mode, yang berwenang dalam bidang legislatif, badan eksekutif.
Jika di telaah lebih lanjut tentang penjelasan diatas, jilbab pada masa dulu merupakan hal yang wajib dilaksnakan oileh para wanita muslimah dengan berbagai kesederhanaan, karena dengan berjilbab diharapkan akan mencegah wanita dari rasa congkak dan bangga diri serta riya’ dalam berpenampilan. Namun tak jarang di Indonesia khusunya kita temui wanita muslimah tapi tak mengenakan jilbab, yang bahkan bangga dengan berbagai asesoris di rambut dan lehernya bahkan mengenakan pakaian yang memamerkan auratnya. Seiring berkembangnya zaman perancang mode dan media massa sudah berperan untuk dapat menimbulkan kesadaran dan mendorong wanita islam untuk berbusana muslimah. khususnya di Indonesia berbagai model busana muslimah semakin variatif, bahkan berbusana muslimah menjadi gaya hidup yang mungkin bukan menjadi gaya hidup yang sederhana lagi seperti apa yang ada pada zaman klasik dulu. Dan seperti apa yang di nash kan.
Ada beberpa faktor yang menyebabkan tidak berjalannya upaya penerapan syariat islam di abad modern ini. Diantaranya negara-negara islam sendiri sekarang sudah sedemikian maju dalam mengikuti modernisasi yang meliputi berbagai bidang. Tak ketinggalan pula dalam bidang kebudayaan dengan laju yang lebih cepat dibandingkan laju pembaharuan di bidang hukum islam fiqih.[11]
Jadi busana muslimah yang saat ini sedang menjadi gaya hidup yang tak lagi menjadi sederhana adalah karena adanya modernisasi budaya yang berkembang sangat pesat

D.  KESIMPULAN
Ada enam dalam perkembangan fiqh. Periode pertama, fiqh dalam era kenabian. Periode Kedua adalah pada masa Khulafaurrasyidin, Periode ketiga adalah fiqh dalam era shigar shahabat dan tabi’in. Periode ketiga adalah fiqh dalam era shigar shahabat dan tabi’in Periode kelima adalah fiqh dalam era jumud dan stagnasi. Periode keenam adalah fiqh dalam era kebangkitan kembali yang dimulai pada abad ke-13 H.
Fiqih kontemporer meliputi : Latar Belakang Munculnya Isu Fiqh Kontemporer, Ruang Lingkup Kajian Fiqh Kontemporer, Relevansi Fiqh Kontemporer dengan Doktrin Fiqh Klasik.
Busana muslimah yang saat ini sedang menjadi gaya hidup yang tak lagi menjadi sederhana adalah karena adanya modernisasi budaya yang berkembang sangat pesat





DAFTAR PUSTAKA

Hadi, Sholikul.  Paradigma Fiqh Modern. Yogyakarta : Idea Press. 2009.
Halim, Abdul dan Teguh Prasetya. Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006.
Sirry, Mun’im A. Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar.  Surabaya: Risalah Gusti. 1996.
Yafie, Ali. Sejarah Fiqih Islam. Surabaya: Risalah Gusti. 1996.
Yanggo, Huzaimah Tahido. Masail Fiqhiyah. Bandung: ANGKASA.  2005.



[1] Sholikul Hadi,  Paradigma Fiqh Modern¸Yogyakarta : Idea Press, 2009,h. 9.
[2] Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam: Sebuah Pengantar, Surabaya: Risalah Gusti, 1996, h. 62-63
[3] Ibid, h. 19-21.
[4] Sholikul Hadi, Op.Cit, h. 93-95.
[5] Ibid, h. 99-101.
[6] Ibid, h. 96-97
[7]  Abdul Halim dan Teguh Prasetya, Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 4
[8] Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah, Bandung: ANGKASA, 2005, hlm. 87-97
[9]Ibid, hlm.98
[10] Ibid, hlm. 98-102
[11] Ali Yafie, Sejarah Fiqih Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1996, hlm. 185

No comments:

Post a Comment