FIQIH KLASIK DAN MODERN
Makalah
Disusun
Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Masail Fiqhiyah
Dosen : Hasanain Haikal, SH., MH.
![]() |
Disusun Oleh :
1.
M. Imam Rifa’i (110228)
2.
Erie Nurdiansyah (111196)
3.
Musyaifin (111202)
4.
Khirun Nisa’ (111209)
5.
Ulya Wiji Astutik (111214)
6.
M. Akhlis (111222)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN TARBIYAH / PAI
2014
FIQIH KLASIK DAN MODERN
A. LATAR BELAKANG
Turunnya
syari’at pada dalam arti proses munculnya hukum-hukum syari’at hanya terjadi masa
kenabian, sebab syari’at turun dari Allah dan itu berakhir dengan turunnya
wahyu setelah Nabi SAW wafat. Dan disaat itu pula hukum syari’at belum dibuat
oleh Nabi SAW sendiri.[1]
Selanjutnya
para fuqoha dan mujtahidin bukan membuat hukum tetapi mencari dan
menyimpulkannya dari sumber-sumber hukum yang benar. Dalam perkembangan
kajian-kajian tentang syari’at yang mulai berkembang, banyak memunculkan
pemikir-pemikir hukum syari’at sesuai dengan zaman dan tempat asalnya sehingga
pola pemikiran mereka tidak sedikit terpengaruh dengan kondisi dan situasi
tempat tinggal mereka.
Dari sini kita
akan memilah perkembangan fiqh sesuai dengan zaman dan pola pemikiran para
pencetusnya, serta adakah hubungan pola pemikiran terdahulu dengan yang
sekarang? Kita akan bahas di bab selanjutnya.
B.
RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah
sesuai latar belakang diatas adalah sebagai berikut:
1.
Apa pengertian Fiqh
Klasik?
2.
Apa Pengertian Fiqh
Kontemporer dan Bagaimana Relevansinya dengan Fiqh Klasik?
3.
Seperti apa akar masalah
dari Fiqh Kontemporer, jilbab dalam perspektif Hukum Islam, Pancasila, dan UUD
1945
C.
PEMBAHASAN
1. Fiqih Klasik
Karakteristik fiqh, bahwa ia muncul tidak
sekedar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pada zamannya, tetapi telah juga
menyiapkan suatu warisan berharga untuk pembangunan hukum masa depan.
Fiqh klasik banyak berisi hukum Islam yang
mengatur pelaksanaan ibadah-ibadah, yang dibebankan pada Muslim yang sudah
Mukallaf yaitu kaitannya dengan lima prinsip pokok (wajib, sunnah, haram,
makruh, mubah), serta yang membahas tentang hukum-hukum kemasyarakat
(muamalat).
Untuk memperoleh gambaran secara komprehensif
dari karakteristik fiqh ini, ada beberapa periode perkembangan fiqh dari awal
perkembangan sampai kebangkitan kembali fiqh dewasa ini, dimulai dari munculnya
pergolakan mengenai theologis, yaitu adanya pengafiran kepada seorang muslim
yang melakukan dosa besar yang terjadi pada masa kekhalifahan Utsman dan Ali
dan melebar pada pemerintahan Daulah Umayyah, munculnya sekte dalam islam, dan
juga pergolakan dalam masalah politik dan sosial, Sementara perkembangan fiqh
juga terkena imbas dari adanya pergolakan tersebut. Kemudian pada masa
pemerintahan Daulah Abbasiyyah, pemerintah tidak ikut campur dalam masalah
fiqh, sehingga para fuqoha lebih leluasa mengembangkan kajian-kajian fiqhiyyah.
Terlepas dari itu semua ada enam dalam
perkembangan fiqh. Periode pertama, fiqh dalam era kenabian. Meskipun
periode pertama ini lebih mrupakan masa turunnya syari’at, tetapi keberhasilan
Nabi dan para sahabat dalam menyikapi hukum islam mampu mewariskan suatu
keniscayaan bagi perkembangan kajian-kajian fiqh pada era berikutnya.
Periode Kedua adalah pada masa Khulafaurrasyidin, pada
periode ini perkembangan fiqh masih tetap seperti periode pertama, meskipun ada
perluasan wilayah islam dan bercampurnya orang arab dengan non arab turut
mengadirkan tuntutan bagi perkembangan fiqh, kajian-kajian itu semakin intens
ketika Abu Bakar berinisiatif mengumpulkan al-Qur’an dan Utsman bin Affan yang
menerbitkan bacaannya. Pada saat itu mulailah terjadi dari sahabat dalam
memahami nash.
Periode ketiga adalah fiqh dalam era shigar shahabat dan
tabi’in. Perluasan wilayah islamya yang sendirinya menjadikan para fuqoha
tersebar di seluruh daerah yang telah dibuka memberikan pengaruh tersendiri
pada perkembangan fiqh. Diantara pengaruh yang terpenting adalah munculnya dua
kecenderungan dalam fiqh; kecenderungan ahli
hadits di Hijas dan kecenderungan ahli Ra’yi (pemikiran) di Irak. Kedua
kecenderungan ini sama-sama mengkaji fiqh dengan metodenya yang khusus dan
tidak jarang melakukan tanya jawab, munadharah, diskusi dan tanggapan
konstruktif sehingga memperkaya khazanah fiqh.
Periode keempat adalah fiqh dalam era
keemasan. Seiring dengan perkembangan gerakan ilmiah dan kodifikasi ilmu dalam
islam, Tsarwah fiqhiyyah (kekayaan fiqh) mencapai puncak keemasannya
yang ditandai munculnya empat mazhab fiqh dalam islam - mazhab Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hambali – yang hingga kini tetap menjadi kerangka rujukan umat
islam.
Masing-masing menawarkan metodologi tersendiri
dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pijakan dan landasan pengambilan hukum.
Meskipun kita yakin mereka tidak bermaksud membentuk madzhab-madzhab tertentu,
tetapi kedalaman kajian-kajian fiqh telah teruji dalam perjalanan sejarah yang
cukup panjang dan dianggap cukup representatif untuk menjadi pegangan dalam
beberapa masa. Tetapi itu tidak berarti konsepsi mereka sudah final, bahkan
dalam batas-batas tertentu, lahirnya madzhab ternyata sangat dipengaruhi faktor
sosial budaya, politik dan kecenderungan para imam yang membentuk
karakteristik, teori dan formula yang berbeda, meskipun sama-sama berpegang pada
al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber utama, madzhab Hanafi bercorak rasional,
madzhab Maliki yang cenderung tradisional, dan madzhab Syafi’i yang moderat
serta madzhab Hambali yang fundamental. Bukanlah karena pembawaan kepribadian
masing-masing imam itu, tetapi – seperti diuraikan oleh Dr. Farouq Abu Zaid
dalam bukunya as-Syari’ah al-Islamiyyah bayn al-Muhafidhin wa al-Mujahidin - merupakan refleksi logis dari situasi
kondisi masyarakat dimana hukum itu tumbuh.[2] Dalam periode ini juga
mulai dirintis penulisan tafsir, hadits, fiqh dan ushul fiqh.
Periode kelima adalah fiqh dalam era jumud dan
stagnasi. Lemahnya kekuasaan kaum muslimin dan terpecah-belahnya kekuatan
mereka banyak mempengaruhi kemacetan dan kejumudan fiqh. Pada periode ini
muncul fatwa ulama' yang terkenal bahwa “pintu ijtihad telah ditutup” dan
terjadilah fanatisme yang berlebihan terhadap mazhab-mazhab tertentu. Betapapun
sejarah juga mencatat jasa-jasa para fuqoha yang tidak kecil dalam memperkaya tsarwah
fiqhiyyah, seperti penulisan syarh (penjelasan) dari buku-buku fiqh aimmatul
madzahib (para imam madzhab), takhrij (mentahqiq haditsnya)dan tarjih
(studi komparatif) antara satu madzhab dengan madzhab lainnya.
Periode keenam adalah fiqh dalam era
kebangkitan kembali yang dimulai pada abad ke-13 H. Hingga sekarang ini yang
diantaranya, ditandai dengan menipisnya fanatisme madzhab dan usaha keras
fuqaha dan mujtahidin untuk menghidupkan kembali kajian fiqh. [3]
2. Fiqih Kontemporer
1) Latar Belakang Munculnya Isu Fiqh Kontemporer
Adapun yang
melatar belakangi munculnya isu Fiqh Kontemporer ada beberapa hal, diantaranya;
a. Akibat arus modernisasi yang meliputi hampir
sebagian negara-negara yang dihuni oleh mayoritas umat islam. Dengan adanya
arus modernisasi tersebut, mengakibatkan munculnya berbagai macam perubahan
dalam tatanan sosial umat islam, baik yang menyangkut ideologi, politik,
sosial, budaya dan lain sebagainya. Berbagai perubahan tersebut seakan-akan
cenderung menjauhkan umat dari nilai-nilai agama. Hal tersebut terjadi karena
kemajuan modernisasi tidak diimbangi dengan pembaharuan pemikiran keagaman.
b. Telah mapannya sistem pemikiran barat (hukum
positif) di mayoritas negeri muslim yang secara faktual lebih mudah diterima
dan diamalkan, akan tetapi dalam penerimaan konsepsi barat tersebut tetap merasakan
adanya semacam “kejanggalan” baik secara psikologis, sosiologis, maupun
politis. Tetapi belum terwujudnya konsepsi islam yang lebih kontekstual, maka
dengan rasa tidak keberdayaan mereka mengikuti konsepsi yang tidak islami. Hal
itu akhirnya menggugah naluri para pakar hukum islam untuk segera mewujudkan
fiqh yang relevan dengan perkembangan zaman.
c. Masih terpakunya pemikiran fiqh klasik dengan
pemahaman tekstual, ad hoc dan parsial, sehingga kerangka sistematika
pengkajian tidak komprehensif dan aktual, sekaligus kurang mampu beradaptasi
dengan perkembangan zaman yang ada.
Menurut Dr.
Yusuf Qardlawi dalam satu kitabnya secara implisit mengungkapkan betapa
diperlukan fiqh kontemporer dimasa ini:
Dengan adanya
kemajuan yang cukup mendasar itu, timbullah pertanyan bagi kita, mampukah ilmu
fiqh menghadapi zaman modern? masih relevankah hukum islam-yang lahir 14 abad
islam-diterapkan sekarang? tentu saja kita sebagai muslim akan menjawabnya,
hukum islam mampu menghadapi zaman, dan masih relevan untuk diterapkan “tidak
asal bicara”, memang. tetapiuntuk menuju kesana perlu syarat yang harus
dijalani secara konsekuen untuk merealisir tujuan penciptaan fiqh kontemporer
tersebut, Qardlawi menawarkan konsep ijtihad; ijtihad perlu dibuka kembali.
menapaktilasi apa yang telah dilakukan oleh ulama’ salaf.
Berkenaan
dengan munculnya isu fiqh kontemporer tersebut, yakni bagaimanapun pemikiran
ulama bisa dipertanyakan kembali berdasarkan kriteria Al-Qur’an dan Sunnah.
disisi lain pertimbangan maslahah dapat dijadikan rujukan dalam upaya
penyesuaian fiqh dengan zaman yang berkembang. perbedaan antara syari’ah dengan
fiqh menjadi peluang timbulnya pengkajian fiqh kontemporer.[4]
2) Ruang Lingkup Kajian Fiqh Kontemporer
Yang dimaksud
dengan ruang lingkup kajian Fiqh Kontemporer disini mencakup: Pertama, masalah-masalah
Fiqh yang berhubungan dengan situasi kontemporer (modern). Kedua,
wilayah kajian dalam Al-Qur’an dan hadits.
a. Kajian Fiqh Kontemporer tersebut dapat dikategorikan
kedalam beberapa aspek:
1) Aspek hukum keluarga, seperti pembagian harta
waris, akad nikah via telepon, perwkafan, nikah hamil, KB, dll.
2) Aspek ekonomi, seperti ; sistem bunga (Interest)
dalam bank, kredit dan arisan, zakat profesi, asuransi, dll.
3) Aspek pidana, seperti : hukum pidana islam
dalam sistem hukum nasional
4) Aspek kewanitaan, seperti : busana muslimah
(jilbab), wanita karir, dll.
5) Aspek medis, seperti : Transplantasi organ
tubuh, pembedahan mayat, euthanasia, infertilitas dan fertilitas, pemilihan
jenis kelamin dll.
6) Aspek teknologi, seperti : menyembelih hewan
secara mekanis, penggunaan hisab dengan meninggalkan rukyat, memberi salam
dengan bel, seruan azan dengan kaset, makmum kepada radio atau tv.
7) Aspek politik, seperti : proses pemilihan
pemimpin, loyalitas pada penguasa, perbedaan sekitar istilah “negara Islam”.
dll.
8) Aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan
ibadah, seperti : tabungan haji, ibadah qurban dengan uang, tayamum dengan
selain tanah (debu), menahan haid karena ibadah haji, dll.
b. Mengenai wilayah kajian yang berkenaan dengan
Al-Qur’an dan Hadits yang erat hubungannya dengan fiqh kontemporer, antara
lain: metodologi pemahaman hukum islam (Ushul Fiqh), persoalan
sosiologis dan historis ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits, keterbukaan kembali
pintu ijtihad, soal kemaslahatan umum, adat istiadat yang berlaku dalam
masyarakat dll.[5]
3) Relevansi Fiqh Kontemporer dengan Doktrin Fiqh
Klasik
Prof. Dr. Harun
Nasution membagi ciri pemikiran islam kedalam tiga zaman, yakni Klasik (abad
VII-XII), Pertengahan (tradisional) abad XIII-XVIII, dan Modern (kontemporer)
abad IX.
Menurut Prof.
Dr. Harun Nasution, metode berfikir ulama klasik terikat langsung dengan
al-Qur’an dan Hadits, sehingga banyak melahirkan ijtihad yang kualitatif.
Sedangkan pemikiran zaman pertengahan menjadi lebih terikat sekali dengan hasil
pemikiran ulama klasik. Dalam menghadapi masalah-masalah baru mereka tidak lagi
secara langsung menggali al-Qur’an dan hadits, melainkan lebih banyak terikat
dengan produk pemikiran ulama zaman klasik, sehingga orisinalitas pemikiran
semakin berkurang dan cenderung dogmatis. Maka bekulah pemikiran serta kurang
mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Di zaman modern ini, banyak umat
islam yang masih juga terpaku dengan pola pemikiran islam abad pertengahaan,
hanya sebagian kecil yang memakai pola pemikiran rasional zaman klasik.
Sebenarnya bila umat islam ingin maju dan punya kemampuan mengantisipasi
perkembangan zaman modern, pola pemikiran ulama klasik sudah selayaknya
dikembangkan. Walaupun menghasilkan produk fiqh yang berbeda karena perbedaan
situasi dan kondisi yang ada. Disinilah letak relevansinya antara fiqh
kontemporer dan fiqh klasik. Tetapi yang jelas pemikiran kontemporer tidak
mesti terikat dengan pemikiran klasik maupun pertengahan, bila ternyata tidak
relevan dengan persoalan yang ada; tetapi yang masih relevan tetap dijadikan
pegangan.[6]
4.
Akar masalah dari Fiqh
Kontemporer, jilbab dalam perspektif Hukum Islam, Pancasila, dan UUD 1945
Ada yang mengatakan bahw
ahukum islam itu tidak berubah dan tetap, maka yang dimaksudkan dengan kata
hukum islam di sini adalah bermakna syariah tau hukum syara’. Yakni ajaran
Allah yang kebenarannya bersifat mutlak dan telah lengkap sempurna. Jika
dikatakan bahwa hukum islam itu berubah dan dapat dikontekstualisasikan sesuai
dengan perkembangan dan perubahan zama, maka itu mrupakan hukum islam bermakna
fiqih, sebagai hasil ijtihad dan interpretasi manusia (mujtahid) terhadap
ajaran syari’ah yang kebenarannya bersifat relatif.[7]
Dari sekian banyak per soalan yang aktual
dalam masyarakat Indonesia saat ini banyak yang melahirkan pro dan kontra
diantaranya adalah masalah kewajiban memakai jilbab bagi wanita muslimah, yang
kadang-kadang dianggap oleh sebagian orang hanya sebagai budaya Arab. Bahkan
ada pula yang memandangnya, bahwa hal itu bertentangan dengan peraturan atau
perundang-undangan yang ada di Indonesia.
a) Pandangan Hukum Islam Terhadap Jilbab[8]
Kata jilbab berasal dari bahasa arab yang
berarti penghalang. Penutup dan pelindung, sarung, kemeja, kerudung / selendang.
Sedangkan menurut istilah Al Qurthubiy mengatakan, jilbab adalah pakaian yang
lebih besar dari kerudung yang dapat menutupi seluruh badan wanita. Jadi dapat
disimpulkan bahwa jilbab adalah pakaian wanita islam yang dapat menutup
auratnya yang diwajibkan oleh agama untuk menutupnya, guna kemaslahatan wanita
itu dna masyarakat tempat ia berada.
Menurut bahasa aurat bearti malu, aib, dan
buruk. Menurut istilah dalam hukum islam, aurat berati batas minimal dari
bagian tubuh yang wajib ditutup karena perintah Allah SWT. Jadi, aurat adalah
sesuatu anggota yang harus ditutup dan dijaga hingga tidak menimbulkan
kekecewaan dan malu.
Batas aurat wanita berbeda-beda, perbedaannya
bergantung dengan siapa wanita itu berhadapan, yang secara umum dapat
diikhtisarkan sebgai berikut:
·
Aurat wanita berhadapan dengan Allah SWT. (shalat),
seluruh tubuhnya kecuali mmuka dan telapak tangan.
·
Aurat wanita berhadapan dengan mahramnya, dalam hal ini
menurut ulama berbeda-beda, yaitu:
ü Al Syafi’iyah berpendapat bahwa aurat wanita berhadapan
dengan mahramnya, adalah antara pusat dan lutut.
ü Al Malikiyah dan aAl Hambaliyah berpendapat,
bahwa aurat wanita berhadapan dengan mahramnya yang laki-laki, adalah seluruh
badannya kecuali muka, kepala, leher, kedua tangan dna kedua kakinya.
·
Aurat wanita berhadapan dengan orang bukan mahramnya
Ulama telah bersepakat mengatakan bahwa selain wajah, kedua telapak tangan,
dna kedua telapak kaki serta seluruh badan wanita adalah aurat, tidak halal
dibuka apabila berhadapan dengan laki-laki asing, bedasarkan firman Allah SWT..
dalam surah al Ahzab ayat 59dan surah An Nur ayat 31, juga hadits Rasul yang
diriwayatkan oleh Turmudzi.
Hukum menutup
aurat adalah wajib bagi seluruh wanita
yang beriman. Menutupa aurat merupakan suatu kewajibanyang harus dilaksanakan
oleh setiap pribadi orang yang beragama islam dengan tanpa menanyakan
mengapa.siapa yang melaksanakan kewajiban itu akan mendapatpahala, karena ia
telah melaksanakan nya ia akan berdosa.
Hikmah menutup aurat dan memakai jilbab diantaranya
adalah:
o Menutup aurat / mengenakan jilbab akan
mendapat pahala, karena ia telah melaksanakan perintah yang diwajibkan Allah
SWT.
o Wanita yang berjilbab terlihat sederhna dan
penuh wibawa, sehingga membuat orang lain langsung menaruh hormat, segan, dan
mengambil jrak secara wajar antara wanita dan pria, sehingga godaan bisa
tercegah semaksimal mungkin.
o Pakaian merupakan cermin jiwa, sehingga jiwa
seorang perempuan yang yang beriman kuat maka dia akan melaksanakan perintah
Allah dengan menutup aurat dan berjilbab. Meskipun berbagai hal yang menghalanginya.
o Jilbab kaitannya dengan ilmu kesehatan adalah
sebagai pelindung rambut dari penyinaran atau radiasi, karena meskipun rambut
membutuhkan oksigen tapi rambut mengandung phaspor, calsium, magnesium, pigmen
dan kholestryl dengan palmitate yang membentuk kholesteryl palmitate yang
sangat labil akibat penyinaran atau radiasi.
o Jilbab kaitannya dengan ilmu ekonomi adalah
wanita berjilbab akan lebih dapat menghemat anggaran belanja dan waktu. Karena
mereka tidak akan membutuhkan macam-macam alat kosmetik dan model-model baju
sesuai dengan perubahan zaman.
Kriteria busana untuk menutup aurat:
§ Busana dapat menutupseuruh aurat yang wajib
ditutup.
§ Busana tidak merupakan pakaian untuk
dibanggakan atau busnana yang menyolok mata.
§ Busana tidak tipis (transparan)
§ Busana agak longgar / jangan terlalu sempit
(ketat).
§ Berbeda dengan pakaian khas pemeluk agama lain
§ Busana wanita tidak sama dengan pakaian pria
atau sebaliknya
§ Busana tidak merupakan bentuk perhiasan
kecantikan.
b)
Pandangan pancasila terhadap Jilbab[9]
Dalam Tap. MPR-RI No. II/MPR/1978, tanggal 22
Maret 1978, disebutkan antara lain: sadar bahwa agama dan kepercayaan kepada
Tuhan YME, adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi sengan Tuhan YME
yang dipercayai dan diyakini, maka dikembangkanlah sikap saling menghormati
kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan.
Hal ini dipertegas oleh Mantan Presiden RI.
Dalam kitab pandangan presiden Soeharto tentang Pancasila halaman 27
mengatakan: Negara diwajibkan menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan
kepercayaan itu.
Disini jelas kita dapat melihat bahwa memakai
jilbab, tidak bertentangan dengan pancasila, bahkan negara menjamin / wajib
menjamin wanita islam untuk memakai jilbab. Karen berbusana muslimah adalah
merupakan ibadah.
c)
Pandangan UUD 1945 terhadap Jilbab[10]
Pada Bab XI pasal 29, ayat 2 UUD 1945
mengatakan : negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaan itu.
Setiap pribadi muslimah harus menyadari bahwa
bebrusana muslimah adalah ibadah yang diwajibkan oleh Allah SWT. Oleh sebab itu
wajib dilaksanakan, agar terlepas dari azab Allah SWT. Kepala rumah tangga
harus menyadarkan, menyuruh, dan menggalakkan setiap muslimah yang ada di dalam
keluarganya untuk berbusana muslimah dan berkewajiban untuk mengontrol
pelaksanaannya.selain itu yang bertanggung jawab dalam penyiaran berjilba b
adalah Pimpinan masyarakat, Para Pendidik, Peranan Media Massa, para perancang
mode, yang berwenang dalam bidang legislatif, badan eksekutif.
Jika di telaah lebih lanjut tentang penjelasan
diatas, jilbab pada masa dulu merupakan hal yang wajib dilaksnakan oileh para
wanita muslimah dengan berbagai kesederhanaan, karena dengan berjilbab diharapkan
akan mencegah wanita dari rasa congkak dan bangga diri serta riya’ dalam
berpenampilan. Namun tak jarang di Indonesia khusunya kita temui wanita
muslimah tapi tak mengenakan jilbab, yang bahkan bangga dengan berbagai
asesoris di rambut dan lehernya bahkan mengenakan pakaian yang memamerkan
auratnya. Seiring berkembangnya zaman perancang mode dan media massa sudah
berperan untuk dapat menimbulkan kesadaran dan mendorong wanita islam untuk
berbusana muslimah. khususnya di Indonesia berbagai model busana muslimah
semakin variatif, bahkan berbusana muslimah menjadi gaya hidup yang mungkin
bukan menjadi gaya hidup yang sederhana lagi seperti apa yang ada pada zaman klasik
dulu. Dan seperti apa yang di nash kan.
Ada beberpa faktor yang menyebabkan tidak
berjalannya upaya penerapan syariat islam di abad modern ini. Diantaranya
negara-negara islam sendiri sekarang sudah sedemikian maju dalam mengikuti
modernisasi yang meliputi berbagai bidang. Tak ketinggalan pula dalam bidang
kebudayaan dengan laju yang lebih cepat dibandingkan laju pembaharuan di bidang
hukum islam fiqih.[11]
Jadi busana muslimah yang saat ini sedang
menjadi gaya hidup yang tak lagi menjadi sederhana adalah karena adanya modernisasi
budaya yang berkembang sangat pesat
D. KESIMPULAN
Ada enam dalam
perkembangan fiqh. Periode pertama, fiqh dalam era kenabian. Periode
Kedua adalah pada masa Khulafaurrasyidin, Periode ketiga adalah fiqh
dalam era shigar shahabat dan tabi’in. Periode ketiga adalah fiqh dalam
era shigar shahabat dan tabi’in Periode kelima adalah fiqh dalam era jumud dan
stagnasi. Periode keenam adalah fiqh dalam era kebangkitan kembali yang dimulai
pada abad ke-13 H.
Fiqih
kontemporer meliputi : Latar Belakang Munculnya Isu Fiqh Kontemporer, Ruang
Lingkup Kajian Fiqh Kontemporer, Relevansi Fiqh Kontemporer dengan Doktrin Fiqh
Klasik.
Busana muslimah
yang saat ini sedang menjadi gaya hidup yang tak lagi menjadi sederhana adalah
karena adanya modernisasi budaya yang berkembang sangat pesat
DAFTAR PUSTAKA
Hadi, Sholikul. Paradigma Fiqh Modern. Yogyakarta :
Idea Press. 2009.
Halim, Abdul dan Teguh Prasetya. Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2006.
Sirry, Mun’im A. Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar. Surabaya: Risalah Gusti. 1996.
Yafie, Ali. Sejarah Fiqih Islam. Surabaya: Risalah Gusti. 1996.
Yanggo, Huzaimah Tahido. Masail Fiqhiyah. Bandung:
ANGKASA. 2005.
No comments:
Post a Comment