Thursday, 20 March 2014

SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT

Nama: Ulya Wiji Astutik
Nim: 111214 / F
Jurisan: Tarbiyah / PAI
SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT

Kata filsafat berasal dari bahasa yunani, philosophia. Philein artinya cinta, mencintai, philos artinya pecinta, dan sophia artinyakebijaksanaan atau hikmat. Cinta artinya hasrat yang besar atau berkobar-kobar atua sungguh-sungguh. Kebijaksanaan artinya kebenaran sejati. Menurut KBBI filsafat yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab asal dan hukumnya. Ada 3 karakteristik berfikir filsafat, yaitu:[1]
1.    Sifat menyeluruh, seornag ilmuan tidak akan pernah puas jika hanya mengenala ilmu dari segi pandang ilmu itu sendiri
2.    Sifat mendasar, yaitu sifat yang tidak saja begitu percaya bahwa ilmu itu benar
3.    Spekulatif, yaitu dalam menyusun sebuah lingkaran dan menentukan titik awal sebuah lingkaran yang sekaligus menjadi titik akhirnya dibutuhkan sifat spekulatif, baik sisi proses, analisis maupun pembuktiannya sehingga dapat di pisahkan man ayang logis atau tidak.
Filsafat pertama muncul di Yunani kira-kira abad ke-7 SM. Filsafat muncul ketika orang mulai berpikir-pikir dan berdiskusi tentang keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dna tidak menggantungkan diri pada agama lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani, bukannya di daerah yang beradab lain kala itu, seperti Babilonia, Yudea (Israel), atau Mesir? Jawabannya sederhana, yaitu di Yunani tidak seperti daerah lain-lainnya, tidak terdapat kasta pendeta sehingga secara intelektual, mereka lebih bebas. Orang Yunani pertama yang diberi gelar filsuf adalah Thales dari Mileta – sekarang pesisir barat Turki. Akan tetapi, filsuf-filsuf Yunani yang terbesar tentu saja Socrates, Plato, dan Aristoteles. Socrates adalah guru Plato, sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Bahkan, ada yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah “komentar-komentar karya Plato”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sanagat besar pada sejarah filsafat.
Filsafat dibagi menjadi filsafat Barat, filsafat Timur dan filsafat Islam.
1.    Filsafat Barat
Filsafat berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani Kuno. Dalam pemikiran Barat konvensional, pemikiran yang sistematis, radikal, dan kritis sering merujuk pada pengertian yang ketat dan harus mengandung kebenaran logis. Mislanya, aliran empirisme, positivisme, dan filsafat analitik memberikan kriteria bahwa pemikiran dianggap filosofis jika mengandung kebenaran korespondensi dan koherensi. Korespondensi adalah sebuah pengetahuan dinilai benar jika pernyataan itu sesuai dengan kenyataan empiris.
Di penghujung abad ke-5 S.M. penyelidikan semakin canggih namun masih berupa penjelasan spekulatif mengenai fenomena akal sehat ketimbang argumen yang benar-benar teknis tentang pengalaman-pengalaman buatan yang terkendali (controlled artificial experiences) yang baru muncul bersama Aristoteles. Selain itu, walaupun filsafat ini tumbuh subur di kalangan elit yang hidup di zaman yang di namai zaman emas ketika Perikles memerintah Athena, namun akal sehat (common sense) pada zaman itu  masih bersifat mistis dan magis, yang dapat dilihat dari daftar keahlian yang tertulis dalam Dunia Prometheus karya Aeschylus.  Di masa-masa sulit di penghujung abad ke-5 S.M., kecurigaan terhadap ketakberagamaan di kalangan para filsuf menguat da hal itu tersirat dalam penghukuman terhadap Anaxagoras dan dalam serangan kepada Sokrates dalam Awan-Awan karya Aristhophanes.[2]
Sejarah filsafat diawali dari filsafat Yunani yang merupakan periode sangat penting dalam sejarah peradaban manusia. Hal tersebut karena pada periode tersebut terjadi perubahan pola pikir masyarakat yang sangat mengandalkan mitos untuk menjelaskan fenomena alam, seperti gema bumi, pelangi, dan sebagainya. Gempa bumi tidak dianggap fenomena alam biasa, tetapi Dewa Bumi sedang menggoyangkan kepalanya. Akan tetapi, ketika filsafat diperkenalkan, fenomena alam tersebut tidak lagi dianggap sebagai aktivitas dewa, tetapi aktivitas alam yang terjadi secara kausalitas. Filsuf alam pertama yang mengkaji asal ususl alam adalah Thales (624-546 SM). Ia mengatakan asal alam adalah air karena air merupakan unsur penting bagi setiap makhluk hidup. Air daat berubah menjadi benda gas, seperti uap dan benda padat, seperti es, dan bumi ini juga berada diatas air. Heraklitos menytimpulkan bahwa yang mendasar dalam alam semesta ini adalah api, dengan alasan api dapat mengeraskan adonan roti dan pada sisi lain dapat melunakkan es. Artinya, api adalah aktor pengubah dalam alam ini sehingga api pantas dianggap sebagai simbol perubahan itu sendiri. Karena filsuf alam tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan sehingga muncul kaum sofis yang memulai kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran. Mereka memberi ruang untuk berspekulasi dan sekaligus merelatifkan teori ilmu, sehingga muncul sintesis baru.
Namun, Socrates,Plato, dan Aristoteles menolak relativisme kaum sofis.  Menurut mereka, ada kebenaran obyektif yang bergantung kepada manusia. Periode setelah socrates disebut dengan zaman ke emasan filsafat yunani karena pada zaman i ni kajian –kajian yang muncul adalah perpaduan antara filsafat alam dna filsafat tentang manusia. Tokoh yang sangat menonjol adalah plato, yang kemudian menjadi murid socrates. Menurutnya, kebenaran umu  itu benar-benar ada, tidka dibuat-buat, bahkan sudah ada dialam ide. Puncak kejayaan filsafat Yunani terjadi pada masa Aristoteles. Ia murid Plato, berhasil menemukan pemecahan persoalan-persoalan besar filsafat yang dipersatukannya dalam satu sistem, yaitulogika, matematika, fisika, dan metafisika, logika Aristoteles berdasarkan pada analisis bahasa yang disebut silogisme.
2.    Filsafat Timur
Tradisi filsafat timur berkembang di Cina dan India, hampir bersamaan dengan berkembangnya filsafat di Yunani Kuno. Tradisi fisafat utama yang berkembang memiliki ciri khas filsafat timur artinyabersifat spiritualistik. Meskipun hal tersebut bisa disebut atau dianggap sebagai filsafat barat pada abad pertengahan di dunia barat, namun di dunia barat masih menonjolkan ilmu filsafatnya di banding agamanya. Nama-nama tokoh filsafat timur diantaranya Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi. Pemikiran dari filsafat timur sering dianggap sebagai pemikiran yang tidak rasional, tidak sistematis, dan tidak kritis.[3] Hal tersebut disebabkan karena pemikiran filsafat timur lebih menonjolkan sisi agamanya dibandingkan sisi filsafat atau logikanya. Pemikiran filsafat timur tidak menggunakan sistematika yang ada dalam filsafat barat.  
3.    Filsafat Islam
Filsafat islam adalah perkembangan pemikiran umat islam dalam ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam semesta yang disinari ajaran islam. Pada periode antara 750 M dan 1100 M merupakan abad keemasan masa dunia islam.[4]  Islam tidak hanya mendukung adanya kebebasan intelektual atau berfikir berdasarkan ilmu pengetahuan. Tetapi juga membuktikan kecintaan umat islam terhadap ilmu pengetahuan dan sikap mereka kepada para ilmuan, tanpa memandang agama mereka. Ilmuan non muslim yang di hormati oleh islam diantaranya adalah Plato dan Aristoteles yang telah memberikan pengaruh yang besar pada mazhab-mazhab islam.
Al farabi telah mengenalkan dan mengembangkan cara berfikir logis (menggunakan logika) pada dunia islam, sehingga al farabi di jadikan filsuf islam yang sangat berjasa. Al farabi telah menterjemahkan berbagai karangan dari Aristoteles yang diantaranya Categoris, Hermeneutics, First, dan Second Analysis ke dalam bahasa Arab. Al farabi juga telah membcarakan berbagai sistem logika dan cara berikir deduktif dan induktif. Sealin itu, Al Farabi dianggap sebagai peletak dasar pertama ilmu musik dan menyempurnakan ilmu musik yang telah  dikembangkan sebelumnya oleh phytagoras. Karena jasa beliau, Al Farabi di beri gelar Guru Kedua, yang sebelumnya Guru pertama adalah Aristoteles. Jasa al Farabi yang lain yang cukup memberi konstribusi yang sangat bernilai dunia islam adalah usahanya mengklasifikasika ilmu pengetahuan. Al farabi telah memberikan definisi dan batasan setiap ilmu pengetahuan yang berkembang pada zamannya. Al Farabi mengklasifikasikan  ilmu ke dalam tujuh cabang, yaitu logika, percakapan, matematika, fisika, metafisika, politik, dan ilmu fiqh (hukum). Tujuh cabang ilmu tersebut di klasifikasikan dan di bagi menjadi beberpa ilmu lagi.
Buku pembagian ilmu tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa latin untuk konsumsi bangsa Eropa dengan judul De Divisione Philosophae. Karya lain yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa latin adalah  berjudul De Scientiis atau De Ortu Scientearum. Buku tersebut mengulas berbagai jenis ilmu seperti, ilmu kimia, optik, dan geologi. Al Farabi terkenal dengan doktrin wahda al-wujud membagi hierarki wujud yaitu:[5]
1.    Di puncak hierarki, wujud adalah Tuhan yang merupakan sebab bagi keberadaan yang lain.
2.    Para malaikat di bawahnya merupakan sebab keberadaan yang lain.
3.    Benda-benda langit (angkasa).
4.    Benda-benda Bumi.
Perkembangan filsafat di dunia Islam ini mendapat tempat yang sangat istimewa. Di sebabkan jika dilihat dari sejarah bahwa filsif dari tradisi Islam bisa dikatakan sebagai ahli waris tradisi filsafat Barat (Yunani). Ada dua pendapat mengenai konstribusi  peradaban islam terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan, yang erus berkembang hingga saat ini. Pendapat pertama mengatakan bawa, orang Eropa belajar filsafat dari filsuf Yunani, seperti Aristoteles melalui kita-kitab yang sudah disalin oleh St. Agustine, yang kemudian diteruska oleh Anicius Manlius Boethius dan John Scotus. Pendapat kedua menyatakan bahwa, orang Eropa belajar filsafat orang Yunani, yaitu buku-buku filsafat Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa arab oleh filsuf islam yaitu Al Kindi dan Al Farabi.


[1] Hamdani, Filsafat Sains, Bandung: CV Pustaka Setia, 2011, hal.63
[2] Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Terj. The Philosophy of Science, Oxford University Press, 1982. Hal. 7
[3] Op.Cit., Hamdani, Hal. 66
[4]  Sirajuddin Zar, Filsafat Islam” Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 20014. Hal. 8
[5] Op. Cit., Hamdani, Hal. 67

No comments:

Post a Comment