GERAKAN PEMBAHARUAN
MUHAMMAD ABDUH
RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran)
Disusun
Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Materi dan Pembelajaran SKI Mts/MA
Dosen : Rini Dwi Susanti M.Ag M.Pd
Oleh,
Ulya Wiji Astutik
111214
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN
TARBIYAH / PAI
2014
A.
Standar Kompetensi
Menganalisis gerakan modernisasi dunia islam.
B.
Kompetensi Dasar
Menganalisis gerakan pembaharuan Muhammad abduh.
C.
Indikator
Siswa dapat :
1.
Menceritakan sejarah singkat Biografi Muhammad Abduh
2.
Menjelaskan peran Muhammad Abduh di bidang politik
3.
Menjelaskan konsep khilafah Muhammad Abduh
4.
Menilai pemikiran pembaharuan Muhammad Abduh
D.
Materi Pembelajaran
1.
Sejarah singkat Biografi Muhammad Abduh
2.
Peran Muhammad Abduh di bidang politik
3.
Konsep khilafah Muhammad Abduh
4.
Pemikiran pembaharuan Muhammad Abduh
E.
Model Pembelajaran
Menggunakan model pembelajaran Active
learning dan information processing.
F.
Strategi Pembelajaran
Menggunakan strategi pembelajaran direct instruction, interactive instrustion
dan interactive.
G.
Metode Dan Teknik Pembelajaran
Metode dan teknik yang dipakai dalam mendesain pembelajaran ini adalah Ceramah, Tanya jawab dan simulasi.
H.
Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan awal
Apersepsi
1. Guru masuk kelas dam mengucapkan salam
2. Mengawali pembelajaran dengan basmalah
3. Guru memberikan stimulus berupa ulasan materi
sebelumnya kemudian mengorelasikan
dengan materi yang akan disampaikan.
Kegiatan inti
Eksplorasi
Dalam kegiatan eksplorasi guru bertanya kepada
peserta didik tentang siapakah Muhammad Abduh dan apa perannya terhadap islam.
Elaborasi
Dalam elaborasi
·
Guru memberi penjelasan tentang biografi Muhammad Abduh,
Peran Muhammad Abduh di bidang politik, konsep khilafah Muhammad Abduh dan
pemikiran pembaharuan Muhammad Abduh.
·
Peserta didik mendengarkan penjelasan guru dengan seksama.
·
Peserta didik melakukan tanya jawab tentang materi yang
disampaikan.
·
Guru membagi kelas menjadi 4 kelompok, kemudian tiap
kelompok di kasih 1 pertanyaan untuk di diskusikan bersama. Setelah itu
perwakilan kelompok membacakan hasil diskusinya.
Kegiatan akhir
Guru mengakhiri pembelajaran dengan bacaan
hamdalah dan berdoa bersama.
I.
Evaluasi
1. Bagaimana sejarah biografi Muhammad Abduh?
2. Apa peran Muhammad Abduh di bidang politik?
3. Bagaimana konsep khilafah Muhammad Abduh?
4. Menilai bagaimana pemikiran pembaharuan
Muhammad abduh?
1.
Sejarah singkat Biografi Muhammad Abduh
Syekh Muhammad aAbduh lahir pada tahun
1849 di Gharbiyah Mesir. Ayahnya bernama
Abduh Hasan Khairullah berasal daru Turki, danibunya seorang Arab yang
silsilajnya sampai kepada suku Umar bin Khattab. Pada usia 13 th ia telah hafal
Al quran. Beliau menamatkan pendidikan tingginya di Universitas Al Azhar pada
tahun 18876 dengan mendapat ijazah Alimiyah. Dalam perkembangannya lebih jauh
Muhammad Abduh dikenal sebagai seorang tokoh ahli tafsir, hukum islam, bahas
aarab dan kesusastraan, logika, ahli ilmu kalam, filsafat dan soal-soal
kemasyarakatan. Ia seorang ulama besar, penulis kenamaan dan pendidik yang
berhasil, pembaharu mesir modern yang bergerak dalam lapangan kemasyarakatan,
seorang pembela islam yang gigih, seorang wartawan yang tajam penanya, seorang
hakim yang jauh pandangannya, pemimpin dan politikus ulung, dan akhirnya
seorang mufti, suatu jabatan tertinggi di Mesir.
2.
Peran Muhammad Abduh di bidang politik
Pada usia 23 tahun, Muhammad Abduh berkenalan dengan
Al-Afghani, dan darinya ia belajar melihat agama dan ajaran Islam dengan
pandangan baru yang berbeda dari apa yang telah dipahami sebelumnya. Oleh
Al-Afghani ia dperkenalkan dengan karya-karya penulis barat yang sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan diperkenalkan pula dengan
masalah-masalah sosial dan politik yang tengah dihadapi oleh masyarakat Mesir
serta ummat Islam pada umumnya. Pada tahun 1880 Muhammad Abduh diangkat menjadi
pemimpin majalah resmi Al-Waqa’i Al-Mishriyyah, yang di bawah
pimpinannya berubah menjadi corong Partai Liberal (Sjadzali, 1993: 120).
Keterlibatannya dalam pemberontakan ‘Urabi Pasya menyebabkan dia diasingkan
dari Mesir pada tahun 1882. Pengasingan itu menyebabkan terhentinya karir
sebagai guru, tetapi dari tempat pengasingannya di Paris, semangatnya
melancarkan kegiatan politik dan dakwah kian bertambah, bukan hanya ditujukan
kepada masyarakat Mesir tetapi kepada penganut Islam di dunia. Bersama-sama
dengan Al-Afghani ia menerbitkan majalah dan membentuk gerakan yang disebut
denganAl-‘Urwat Al-Wutsqa. Ide yang di sebarkan gerakan tersebut tetap
sama, yaitu mengobarkan semangat ummat Islam untuk bangkit melawan
kekuasaan Barat (Lubis, 1993: 116).
|
Muhammad
Abduh memandang kemunduran bangsa-bangsa muslim sebagai akibat pemerintah
otoriter yang yang ditimbulkan oleh kebodohanfaqih (ahli hukum
Islam) dan kebodohan penguasa. Faqih dianggap bersalah karena
tidak memahami politik dan bergantung kepada penguasa, sehigga penguasa tidak
mempertanggungjawabkan kebijakannya. Sementara itu, penguasa bukan saja bodoh
dalam hal memerintah dan menegakkan keadilan, bahkan mereka merusak faqih dan
memanfaatkan faqih untuk kepentingan mereka sendiri dengan
cara memaksa faqih mengeluarkan fatwa untuk mempertahankan
kebijakan pemerintah. Dalam keadaan demikian, hal yang terpenting bagi ummat
adalah persatuan politik dan keadilan. Persatuan politik dan keadilan ini belum
ada karena ketidakpedulian pemimpin. Segenap keburukan yang menimpa kaum
muslimin adalah akibat dari kebodohan dan perpecahan pemimpin muslim yang
menyandang gelar tinggi seperti pangeran dan sultan, yang hidup bergelimang
dengan kemewahan, dan berupaya mencari perlindungan dari pemerintah asing yang
bukan muslim untuk memperkuat dirinya dalam menghadapi rakyatnya sendiri.
Pemimpin seperti ini menjarah kekayaan rakyat demi kesenangan pribadi, tidak
menegakkan keadilan, tidak merujuk kepada kitab yang tepat atau tidak mengikuti
sunnah, dan pemimpin seperti ini menjadi penyebab kerusakan akhlak ummat
(Rahnema,1998:60-61).
Menurut
Muhammad Abduh organisasi politik bukanlah persoalan yang ditetapkan oleh
ajaran Islam, melainkan oleh situasi dan waktu tertentu, melalui musyawarah
dalam komunitas. Kontribusi
Muhammad Abduh untuk reformasi terlihat dalam perannya sebagai ahli fikih dan
Hakim Agama Senior (Mufti Agung). Dia memperluas ruang ijtihad, mengajarkan
bahwa moralitas dan hukum harus disesuaikan dengan kondisi modern demi kemaslahatan
bersama (Black, 2006: 550-551). Islam tidak mengenal otoritas final, selain
otoritas Allah dan Nabi. Syari’at menggariskan hak maupun batasan bagi otoritas
tertinggi dalam Islam, seperti penguasa, entah itu khalifah ataupun sultan.
Peranan penguasa ini b
|
|
erbeda dengan peran qadhi (hakim).
Sultan melaksanakan apa yang diputuskan benar dan adil oleh qadhi.
Jika tak ada kekuasaan untuk melaksanakan keadilan dan keputusan qadhi, maka
tak ada kearifan dalam perundang-undangan.
Penguasa
berhak untuk ditaati selama dia berpegang pada kebenaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah,
namun tidak ada ketaatan kepada orang yang durhaka terhadap Allah. Kaum
muslimin berhak mengontrol dan terus menerus menilai penguasa, juga menuntut pertanggungjawabannya.
Jika ia menyimpang dari jalan kebenaran, maka harus diganti. Ummat yang
mengangkatnya, dan ummat punya otoritas atas dirinya. Khalifah atau sultan
merupakan penguasa sipil yang wilayahnya bukanlah teokrasi. Tugas kaum muslimin
adalah memberi nasihat kepada penguasa berdasar pada ajaran Islam seperti majelis
syura. Siap atau tidaknya orang untuk menerapkan metode syura bukan
ditentukan oleh terlatihnya mereka dalam meneliti, berpikir atau terlatihnya
mereka dalam prinsip-prinsip berdebat, tetapi cukup dengan mengupayakan
kebenaran dan adanya sistem yang memperhatikan kepentingan publik. Jangan
berkhayal bahwa peraturan dan hukum yang adil bisa didasarkan pada model asing.
Ada peraturan dan hukum yang cocok bagi sebagian orang, tetapi tidak cocok bagi
sebagian yang lain. Oleh karena itu, mereka yang membuat peraturan dan hukum,
janganlah mengakomodasi hukum asing, tetapi mereka harus memikirkan kondisi
masyarakat dan watak khasnya.
5. Konsep khilafah
Muhammad Abduh
Tujuan gerakan syekh Muhammad Abduh adalah terbagi ke dalam empat saaran
ppokok berikut:
1) Pemurnian amal perbuatan umat islam dari
segala bentuk bid’ah
2) Pembaharuan dalam bidang pendidikan
3) Perumusan kembali ajaran islam menurut pikiran
modern
4) Tangkisan terhadap pengaruh Barat dan Nasrani
Dalam
soal kekuasaan, Muhammad Abduh memandang perlu membatasi kekuasaan dengan
institusi yang jelas.Tanpa konstitusi akan timbul tindakan sewenang-wenang.
Untuk itu, Muhammad Abduh mengajukan prinsip musyawarah yang dipandang dapat
mewujudkan kehidupan politik yang demokratis.
6.
Pemikiran pembaharuan Muhammad Abduh
Ada beberapa hal yang perlu dicermati dan ditelaah
secara kritis dari konsep-konsep pembaharuan dan pemikiran Muhammad Abduh.
Konsep-konsep pembaharuan dan pemikiran yang perlu disikapi secara kritis itu
antara lain;
1)
Rasionalitas atau kecenderungan Muhammad Abduh
menonjolkan akal dalam ijtihad maupun penafsiran Al-Qur’an terkesan agak
berlebihan. Hal demikian terlihat jelas antara lain dalam sikapnya ketika ia
menemukan pertentangan antara akal dengan apa yang diriwayatkan hadits, maka
akal yang harus didahulukan, padahal kemutlakan Al-Qur’an dan Al-Sunnah tidak
diragukan lagi, sebagimana diakui sendiri oleh Muhammad Abduh bahwa Islam tidak
mengenal otoritas final selain otoritas Allah dan Nabi.
2)
Dengan semangat perlawanan terhadap hegemoni Barat dan keinginan mengikis
habis kejumudan yang terjadi di kalangan kaum muslimin, Muhammad Abduh
mengajukan konsep pembaharuan pendidikan yang mencakup pengembangan aspek kognitif (akal)
dan aspek afektif(spiritual) untuk mencapai tujuan pendidikan yang
diinginkannya, yakni terbentuknya pribadi-pribadi yang utuh, yang tidak hanya
memiliki kecerdasan intelektual tetapi juga memiliki kecerdasan spiritual.
Agaknya dalam hal ini Muhammad Abduh melupakan satu lagi aspek pendidikan,
yaitu aspek psycho motoric (ketrampilan) yang tidak kalah pentingnya dalam
rangka mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan, sesuai dengan semangat yang
melatarbelakangi konsep pendidikan yang diajukannya.
3)
Sebagaimana yang dianjurkan oleh Islam, Muhammad Abduh
sangat menghargai dan memuliakan wanita, namun penolakannya terhadap poligami
terkesan berlebihan. Ia beranggapan bahwa poligami tidak sesuai dan
tidak dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat modern dengan alasan tidak
sesuai dengan prinsip keadilan, sehingga ia menyerukan bahwa poligami harus
dilarang. Dalam hal ini Allah yang menurunkan ayat tentang kebolehan poligami
(QS. An-Nisa: 3), tentu lebih tahu dan Maha Tahu bahwa hamba-hambaNya tidak
akan mampu berlaku adil dalam pengertian yang sebenar-benarnya sebagaimana
keadilanNya, karena hanya ada satu Yang Maha Adil yakni Dia sendiri. Sementara
itu ayat ini (QS. An-Nisa:3) juga tidak mansukh oleh ayat yang lain.
Dengan demikian, keadilan yang disyaratkan dalam poligami tentu bukan keadilan
mutlak sebagaimana keadilannya Allah, melainkan keadilan menurut ukuran dan
kemampuan manusia.
4)
Pendapat lain yang bertentangan dengan pendapat ulama fiqih pada umumnya
ialah, pencabutan keputusan cerai dari otoritas suami dan menempatkannya di
bawah yuridiksi dan kepakaran qadhi (hakim). Agaknya,
pemikiran Muhammad Abduh dalam hal ini terlalu dipengaruhi oleh realitas sosial
pada waktu itu, di mana banyak terjadi ketidakadilan dan penindasan yang
diderita oleh kaum wanita, juga sangat mungkin latar belakang kehidupannya yang
memilki dua orang ibu (ayahnya beristeri dua) menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhinya. Hal lain
yang mungkin juga berpengaruh terhadap ijtihad-nya dalam hal ini
ialah, adanya kritik Barat dan golongan anti Islam yang menuduh Islam menindas
kaum wanita. Muhammad Abduh berusaha menjawab tuduhan itu dengan menunjukkan
keadilan Islam, namun perlu diingat bahwa ketetapan Allah tidak dapat
dibatalkan dengan ijtihad, dan ke-Maha AdilanNya tidak akan
berkurang dengan ketetapan yang membolehkan poligami.
5)
Harun Nasution menyatakan bahwa poligami dalam Islam
tidak diwajibkan dan juga tidak dianjurkan, tetapi dibolehkan. Manusia tidak
akan memperoleh kebahagiaan jikalau seorang suami yang berhasrat sekali
mempunyai anak terpaksa harus menceraikan isteri yang dicintai dan mencintainya
agar dapat kawin dengan perempuan lain untuk mendapatkan keturunan. Suami yang
kebutuhan biologisnya tidak terpuaskan oleh satu orang isteri, dan tidak
dibolehkan oleh hukum untuk kawin lagi hingga mencari kepuasan diluar
perkawinan, tidak akan memperoleh kebaikan dan kebahagiaan. Juga tidak akan
mencapai kebaikan dan kebahagiaan, dalam masyarakat yang jumlah perempuannya
lebih banyak dari pada laki-lakinya, kalau poligami diharamkan (dilarang)
(Nasution, 1998: 435). Untuk pembuktian lebih jauh dalam hal ini,
diperlukan adanya penelitian lebih lanjut oleh para ahli hukum (faqih)
dan ahli ilmu kemasyarakatan.
No comments:
Post a Comment