Sunday, 18 May 2014

RPP SKI MA



GERAKAN PEMBAHARUAN
MUHAMMAD ABDUH
RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran)
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Materi dan Pembelajaran SKI Mts/MA
Dosen : Rini Dwi Susanti M.Ag M.Pd

 













Oleh,

Ulya Wiji Astutik
111214

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH / PAI
2014


A.  Standar Kompetensi
Menganalisis gerakan modernisasi dunia islam.
B.  Kompetensi Dasar
Menganalisis gerakan pembaharuan Muhammad abduh.
C.  Indikator
Siswa dapat :
1.      Menceritakan sejarah singkat Biografi Muhammad Abduh
2.      Menjelaskan peran Muhammad Abduh di bidang politik
3.      Menjelaskan konsep khilafah Muhammad Abduh
4.      Menilai pemikiran pembaharuan Muhammad Abduh
D.  Materi Pembelajaran
1.    Sejarah singkat Biografi Muhammad Abduh
2.    Peran Muhammad Abduh di bidang politik
3.    Konsep khilafah Muhammad Abduh
4.    Pemikiran pembaharuan Muhammad Abduh
E.  Model Pembelajaran
Menggunakan model pembelajaran Active learning dan information processing.
F.   Strategi Pembelajaran
Menggunakan strategi pembelajaran direct instruction, interactive instrustion dan interactive.
G. Metode Dan Teknik Pembelajaran
Metode dan teknik yang dipakai dalam mendesain pembelajaran ini adalah Ceramah, Tanya jawab dan simulasi.
H.  Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan awal
Apersepsi
1.      Guru masuk kelas dam mengucapkan salam
2.      Mengawali pembelajaran dengan basmalah
3.      Guru memberikan stimulus berupa ulasan materi sebelumnya  kemudian mengorelasikan dengan materi yang akan disampaikan.
Kegiatan inti
Eksplorasi
Dalam kegiatan eksplorasi guru bertanya kepada peserta didik tentang siapakah Muhammad Abduh dan apa perannya terhadap islam.
Elaborasi
Dalam elaborasi
·         Guru memberi penjelasan tentang biografi Muhammad Abduh, Peran Muhammad Abduh di bidang politik, konsep khilafah Muhammad Abduh dan pemikiran pembaharuan Muhammad Abduh.
·         Peserta didik mendengarkan penjelasan  guru dengan seksama.
·         Peserta didik melakukan tanya jawab tentang materi yang disampaikan.
·         Guru membagi kelas menjadi 4 kelompok, kemudian tiap kelompok di kasih 1 pertanyaan untuk di diskusikan bersama. Setelah itu perwakilan kelompok membacakan hasil diskusinya.
Kegiatan akhir
Guru mengakhiri pembelajaran dengan bacaan hamdalah dan berdoa bersama.
I.     Evaluasi
1.    Bagaimana sejarah biografi Muhammad Abduh?
2.    Apa peran Muhammad Abduh di bidang politik?
3.    Bagaimana konsep khilafah Muhammad Abduh?
4.    Menilai bagaimana pemikiran pembaharuan Muhammad abduh?



1.    Sejarah singkat Biografi Muhammad Abduh
Syekh Muhammad aAbduh lahir pada tahun 1849  di Gharbiyah Mesir. Ayahnya bernama Abduh Hasan Khairullah berasal daru Turki, danibunya seorang Arab yang silsilajnya sampai kepada suku Umar bin Khattab. Pada usia 13 th ia telah hafal Al quran. Beliau menamatkan pendidikan tingginya di Universitas Al Azhar pada tahun 18876 dengan mendapat ijazah Alimiyah. Dalam perkembangannya lebih jauh Muhammad Abduh dikenal sebagai seorang tokoh ahli tafsir, hukum islam, bahas aarab dan kesusastraan, logika, ahli ilmu kalam, filsafat dan soal-soal kemasyarakatan. Ia seorang ulama besar, penulis kenamaan dan pendidik yang berhasil, pembaharu mesir modern yang bergerak dalam lapangan kemasyarakatan, seorang pembela islam yang gigih, seorang wartawan yang tajam penanya, seorang hakim yang jauh pandangannya, pemimpin dan politikus ulung, dan akhirnya seorang mufti, suatu jabatan tertinggi di Mesir.
2.    Peran Muhammad Abduh di bidang politik
Pada usia 23 tahun, Muhammad Abduh berkenalan dengan Al-Afghani, dan darinya ia belajar melihat agama dan ajaran Islam dengan pandangan baru yang berbeda dari apa yang telah dipahami sebelumnya. Oleh Al-Afghani ia dperkenalkan dengan karya-karya penulis barat yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan diperkenalkan pula dengan masalah-masalah sosial dan politik yang tengah dihadapi oleh masyarakat Mesir serta ummat Islam pada umumnya. Pada tahun 1880 Muhammad Abduh diangkat menjadi pemimpin majalah resmi Al-Waqa’i Al-Mishriyyah, yang di bawah pimpinannya berubah menjadi corong Partai Liberal (Sjadzali, 1993: 120). Keterlibatannya dalam pemberontakan ‘Urabi Pasya menyebabkan dia diasingkan dari Mesir pada tahun 1882. Pengasingan itu menyebabkan terhentinya karir sebagai guru, tetapi dari tempat pengasingannya di Paris, semangatnya melancarkan kegiatan politik dan dakwah kian bertambah, bukan hanya ditujukan kepada masyarakat Mesir tetapi kepada penganut Islam di dunia. Bersama-sama dengan Al-Afghani ia menerbitkan majalah dan membentuk gerakan yang disebut denganAl-‘Urwat Al-Wutsqa. Ide yang di sebarkan gerakan tersebut tetap sama, yaitu mengobarkan semangat  ummat Islam untuk bangkit melawan kekuasaan Barat (Lubis, 1993: 116).  


            Muhammad Abduh memandang kemunduran bangsa-bangsa muslim sebagai akibat pemerintah otoriter yang yang ditimbulkan oleh kebodohanfaqih (ahli hukum Islam) dan kebodohan penguasa. Faqih dianggap bersalah karena tidak memahami politik dan bergantung kepada penguasa, sehigga penguasa tidak mempertanggungjawabkan kebijakannya. Sementara itu, penguasa bukan saja bodoh dalam hal memerintah dan menegakkan keadilan, bahkan mereka merusak faqih dan memanfaatkan faqih untuk kepentingan mereka sendiri dengan cara memaksa faqih mengeluarkan fatwa untuk mempertahankan kebijakan pemerintah. Dalam keadaan demikian, hal yang terpenting bagi ummat adalah persatuan politik dan keadilan. Persatuan politik dan keadilan ini belum ada karena ketidakpedulian pemimpin. Segenap keburukan yang menimpa kaum muslimin adalah akibat dari kebodohan dan perpecahan pemimpin muslim yang menyandang gelar tinggi seperti pangeran dan sultan, yang hidup bergelimang dengan kemewahan, dan berupaya mencari perlindungan dari pemerintah asing yang bukan muslim untuk memperkuat dirinya dalam menghadapi rakyatnya sendiri. Pemimpin seperti ini menjarah kekayaan rakyat demi kesenangan pribadi, tidak menegakkan keadilan, tidak merujuk kepada kitab yang tepat atau tidak mengikuti sunnah, dan pemimpin seperti ini menjadi penyebab kerusakan akhlak ummat (Rahnema,1998:60-61).
             Menurut Muhammad Abduh organisasi politik bukanlah persoalan yang ditetapkan oleh ajaran Islam, melainkan oleh situasi dan waktu tertentu, melalui musyawarah dalam komunitas. Kontribusi Muhammad Abduh untuk reformasi terlihat dalam perannya sebagai ahli fikih dan Hakim Agama Senior (Mufti Agung). Dia memperluas ruang ijtihad, mengajarkan bahwa moralitas dan hukum harus disesuaikan dengan kondisi modern demi kemaslahatan bersama (Black, 2006: 550-551). Islam tidak mengenal otoritas final, selain otoritas Allah dan Nabi. Syari’at menggariskan hak maupun batasan bagi otoritas tertinggi dalam Islam, seperti penguasa, entah itu khalifah ataupun sultan. Peranan penguasa ini b




erbeda dengan peran qadhi (hakim). Sultan melaksanakan apa yang diputuskan benar dan adil oleh qadhi. Jika tak ada kekuasaan untuk melaksanakan keadilan dan keputusan qadhi, maka tak ada kearifan dalam perundang-undangan.
            Penguasa berhak untuk ditaati selama dia berpegang pada kebenaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah, namun tidak ada ketaatan kepada orang yang durhaka terhadap Allah. Kaum muslimin berhak mengontrol dan terus menerus menilai penguasa, juga menuntut pertanggungjawabannya. Jika ia menyimpang dari jalan kebenaran, maka harus diganti. Ummat yang mengangkatnya, dan ummat punya otoritas atas dirinya. Khalifah atau sultan merupakan penguasa sipil yang wilayahnya bukanlah teokrasi. Tugas kaum muslimin adalah memberi nasihat kepada penguasa berdasar pada ajaran Islam seperti majelis syura. Siap atau tidaknya orang untuk menerapkan metode syura bukan ditentukan oleh terlatihnya mereka dalam meneliti, berpikir atau terlatihnya mereka dalam prinsip-prinsip berdebat, tetapi cukup dengan mengupayakan kebenaran dan adanya sistem yang memperhatikan kepentingan publik. Jangan berkhayal bahwa peraturan dan hukum yang adil bisa didasarkan pada model asing. Ada peraturan dan hukum yang cocok bagi sebagian orang, tetapi tidak cocok bagi sebagian yang lain. Oleh karena itu, mereka yang membuat peraturan dan hukum, janganlah mengakomodasi hukum asing, tetapi mereka harus memikirkan kondisi masyarakat dan watak khasnya.
5.    Konsep khilafah Muhammad Abduh
Tujuan gerakan syekh Muhammad Abduh adalah terbagi ke dalam empat saaran ppokok berikut:
1)   Pemurnian amal perbuatan umat islam dari segala bentuk bid’ah
2)   Pembaharuan dalam bidang pendidikan
3)   Perumusan kembali ajaran islam menurut pikiran modern
4)   Tangkisan terhadap pengaruh Barat dan Nasrani
Dalam soal kekuasaan, Muhammad Abduh memandang perlu membatasi kekuasaan dengan institusi yang jelas.Tanpa konstitusi akan timbul tindakan sewenang-wenang. Untuk itu, Muhammad Abduh mengajukan prinsip musyawarah yang dipandang dapat mewujudkan kehidupan politik yang demokratis.

6.    Pemikiran pembaharuan Muhammad Abduh
Ada beberapa hal yang perlu dicermati dan ditelaah secara kritis dari konsep-konsep pembaharuan dan pemikiran Muhammad Abduh. Konsep-konsep pembaharuan dan pemikiran yang perlu disikapi secara kritis itu antara lain;
1)        Rasionalitas atau kecenderungan Muhammad Abduh menonjolkan akal dalam ijtihad maupun penafsiran Al-Qur’an terkesan agak berlebihan. Hal demikian terlihat jelas antara lain dalam sikapnya ketika ia menemukan pertentangan antara akal dengan apa yang diriwayatkan hadits, maka akal yang harus didahulukan, padahal kemutlakan Al-Qur’an dan Al-Sunnah tidak diragukan lagi, sebagimana diakui sendiri oleh Muhammad Abduh bahwa Islam tidak mengenal otoritas final selain otoritas Allah dan Nabi.
2)        Dengan semangat perlawanan terhadap hegemoni Barat dan keinginan mengikis habis kejumudan yang terjadi di kalangan kaum muslimin, Muhammad Abduh mengajukan konsep pembaharuan pendidikan yang mencakup pengembangan aspek kognitif (akal) dan aspek afektif(spiritual) untuk mencapai tujuan pendidikan yang diinginkannya, yakni terbentuknya pribadi-pribadi yang utuh, yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual tetapi juga memiliki kecerdasan spiritual. Agaknya dalam hal ini Muhammad Abduh melupakan satu lagi aspek pendidikan, yaitu aspek psycho motoric (ketrampilan) yang tidak kalah pentingnya dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan, sesuai dengan semangat yang melatarbelakangi konsep pendidikan yang diajukannya.
3)        Sebagaimana yang dianjurkan oleh Islam, Muhammad Abduh sangat menghargai dan memuliakan wanita, namun penolakannya terhadap poligami terkesan  berlebihan. Ia beranggapan bahwa poligami tidak sesuai dan tidak dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat modern dengan alasan tidak sesuai dengan prinsip keadilan, sehingga ia menyerukan bahwa poligami harus dilarang. Dalam hal ini Allah yang menurunkan ayat tentang kebolehan poligami (QS. An-Nisa: 3), tentu lebih tahu dan Maha Tahu bahwa hamba-hambaNya tidak akan mampu berlaku adil dalam pengertian yang sebenar-benarnya sebagaimana keadilanNya, karena hanya ada satu Yang Maha Adil yakni Dia sendiri. Sementara itu ayat ini (QS. An-Nisa:3) juga tidak  mansukh oleh ayat yang lain. Dengan demikian, keadilan yang disyaratkan dalam poligami tentu bukan keadilan mutlak sebagaimana keadilannya Allah, melainkan keadilan menurut ukuran dan kemampuan manusia.
4)        Pendapat lain yang bertentangan dengan pendapat ulama fiqih pada umumnya ialah, pencabutan keputusan cerai dari otoritas suami dan menempatkannya di bawah yuridiksi dan kepakaran qadhi (hakim). Agaknya, pemikiran Muhammad Abduh dalam hal ini terlalu dipengaruhi oleh realitas sosial pada waktu itu, di mana banyak terjadi ketidakadilan dan penindasan yang diderita oleh kaum wanita, juga sangat mungkin latar belakang kehidupannya yang memilki dua orang ibu (ayahnya beristeri dua) menjadi salah satu faktor yang mempengaruhinya. Hal lain yang mungkin juga berpengaruh terhadap ijtihad-nya dalam hal ini ialah, adanya kritik Barat dan golongan anti Islam yang menuduh Islam menindas kaum wanita. Muhammad Abduh berusaha menjawab tuduhan itu dengan menunjukkan keadilan Islam, namun perlu diingat bahwa ketetapan Allah tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad, dan ke-Maha AdilanNya tidak akan berkurang dengan ketetapan yang membolehkan poligami.
5)        Harun Nasution menyatakan bahwa poligami dalam Islam tidak diwajibkan dan juga tidak dianjurkan, tetapi dibolehkan. Manusia tidak akan memperoleh kebahagiaan jikalau seorang suami yang berhasrat sekali mempunyai anak terpaksa harus menceraikan isteri yang dicintai dan mencintainya agar dapat kawin dengan perempuan lain untuk mendapatkan keturunan. Suami yang kebutuhan biologisnya tidak terpuaskan oleh satu orang isteri, dan tidak dibolehkan oleh hukum untuk kawin lagi hingga mencari kepuasan diluar perkawinan, tidak akan memperoleh kebaikan dan kebahagiaan. Juga tidak akan mencapai kebaikan dan kebahagiaan, dalam masyarakat yang jumlah perempuannya lebih banyak dari pada laki-lakinya, kalau poligami diharamkan (dilarang) (Nasution, 1998: 435).  Untuk pembuktian lebih jauh dalam hal ini, diperlukan adanya penelitian lebih lanjut oleh para ahli hukum (faqih) dan ahli ilmu kemasyarakatan.


No comments:

Post a Comment