Wednesday, 2 May 2012

MUNASABATUL AYAT


MUNASABATUL  AYAT

A.    PENDAHULUAN
 Al qur’an sebagai kitab suci terakhir yang diwahyukan pada nabi terakhir diturunkan dalam tempo 20 tahun lebih. Ayat dan surat-suratnya tertata secara rapi dan rajin berdasarkan petunjuk Allah, hingga demikian sepotong ayat belum atau tidak dapat dipahami maknanya secara umum dengan tepat kecuali dengan menghubungkan dengan ayat-ayat sebelumnya atau sesudahnya. Sebagaimana telah diketahui bahwa masing-masing ayat memiliki tanasub antara satu ayat dengan ayat lainnya,atau antara surat dengan surat lainnya. Hubungan tersebut boleh jadi berupa kesesuaian,kemiripan,ataupun keberlawanan, baik yang terjadi antar ayat maupun antar surat-surat. Itulah yang disebut oleh para ulama’ sebagai tanasub al ayat wa as suwar.[1]
Ilmu tanasub termasuk hasil pemikiran ulama tafsir dalam rangka memahami dan menafsirkan firman Allah yang mutlak benar, sedikitpun tak ada yang keliru dan senantiasa berlaku sepanjang masa secara universal dan abadi. Mengingat kalam Allah itu sangat ijaz (singkat, padat, tepat dan akurat), maka untuk menafsirkannya diperlukan berbagai ilmu, salah satunya adalah ilmu tanasub. berdasarkan kenyataan itu maka jelas bagi kita bahwa ilmu ini merupakan produk ijtihadi. Dengan demikian, kita memperoleh keyakinan bahwa dalam al qur’an memang ada tanasub. Oleh karnanya untuk membantu seseorang dalam proses pemahaman dan penafsiran, maka ilmu tanasub amat besar perannya.[2]
Ilmu munasabah termasuk kajian yang penting dalam ulumul qur’an. Dengan demikian, tidak mengherankan jika banyak pakar tafsir di masa lampau yang mencurahkan perhatian terhadap kajian ini. Sebenarnya tidak diketahui secara pasti tanggal mulai lahirnya ilmu tanasub ini, namun dari literatur yang ditemukan, para ahli cenderung berpendapat bahwa kajian ini pertama kali dimunculkan oleh al Imam Abu Bakr ‘abd Allah BIN Muhammad al Naysaburi (w.324 H) di kota baghdad sebagaimana diakui oleh syeh Abu al Hasan al Syahrobani seperti dikutip alma’i. Al  suyuthi juga berpendapat serupa itu, dan ditambahkannya bahwa al naysaburi ini ialah seorang pakar yang menonjol dalam ilmu syariat dan sastra. Jika pendapat ini diterima, itu berarti pembahasan terhadap permasalahan tanasub ayat-ayat dan surat-surat dalam al Quran telah mulai menjadi obyek studi dikalangan ulama tafsir sejak abad ke-4 H.[3]

B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana definisi tentang Munasabah?
2.      Apa saja macam-macam munasabah?
3.      Apa urgensi dari munasabah?

C.    PEMBAHASAN
1.      Definisi Munasabah
Munasabah berasal dari kata نَاسَبَ - يُنَاسِبُ – مُنَاسَبَةً yang berarti dekat, serupa, mirip, dan rapat   اَلْمُنَاسَبَة sama artinya dengan اَلْمُقَارَبَة yakni mendekatkannya dan menyesuaikannya: اَلنَّسِبُ artinya اَلْقَرِبُ الْمُتَّصِلُ (dekat dan berkaitan). Misalnya, dua orang bersaudara dan anak paman. Ini terwujud bila kedua-duanya saling berdekatan dalam artian adda ikatan atau hubungan antara kedua-duanya. An-nasib juga berati ar-rabith, yakni ikatan, pertalian, hubungan.[4] Munasabah secara bahasa berarti kedekatan atau kesesuaian.
          Secara terminologis, munasabah adalah kemiripan-kemiripan yang terdapat pada hal-hal tertentu dalam Al Quran baik surat maupun ayat-ayatnya yang menghubungkan uraian satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini, munasabah bisa berarti suatu pengetahuan yang diperoleh secara ‘aqli dan bukan diperoleh melaui tauqifi. Dengan demikian, akallah yang berusaha mencari dan menemukan hubungan-hubungan, pertalian, atau keserupaan antara sesuatu itu. Demikianlah Az-Zarkasyi mengemukakan pendapatnya tentang persoalan munasabah.[5]
Yang dimaksud dengan munasabah di sini ialah sisi-sisi korelasi antara satu kalimat dengan kalimat lain  dalam satu ayat, antara satu ayat dengan ayat-ayat lain, atau antara satu surat dengan surat yang lain. Menurut al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi, mengetahui sejauh mana hubungan antara ayat-ayat tertentu dengan ayat-ayat lain hingga semuanya menjadi seperti satu kata, yang maknanya serasi dan susunannya teratur merupakan suatu ilmu yang besar.[6]
Dalam kaitan ini sebagian ulama, antara lain Hasbi Al Shiddiqiy misalnya, memandang bahwa, pengertian munasabah hanya terbatas pada ayat-ayat atau antar ayat. Al Baghawi menyamakan munasabah dengan ta’wil. Sedangkan Badrudddin al Zarkasyi dan al Suyuthiy mengemukakan bahwa, munasabah mencakup hubungan antar ayat ataupun antar surat. Selanjutnya  Manna’ al-Qaththan mengatakan bahwa, munasabah adalah mencakup segi-segi hubungan antara satu kata dengan kata yang lain dalam satu ayat, antar satu ayat dengan ayat lain, atau antar satu surat dengan surat yang lain.[7]
Dengan demikian, pengertian munasabah itu tidak hanya terbatas dalam arti yang sejajar dan paralel saja, tapi juga kontrakdisipun termasuk didalam ruang lingkup munasabah. Misalnya, ketika Al Quran menerangkan hal ikhwal orang-orang mukmin kemudian diiringi dengan penjelasan mengenai orang-orang kafir dan yang semacamnya. Sebab sebagian dari ayat-ayat dan atau surat-surat dalam al-Quran itu kadang-kadang merupakan tahsis terhadap ayat-ayat lain yang bersifat umum.[8]
2.      Macam-macam Munasabah
Pada garis besarnya munasabah menyangkut dua hal, yaitu hubungan antara ayat dengan ayat dan hubungan surat dengan surat.[9]
Dua pokok hubungan itu diperinci seebagai berikut:
a)      Hubungan kalimat dengan kalimat dalam ayat.
Hubungan antara ayat dengan ayat Al-Quran terbagi dalam dua macam . pertama, hubungan yang sudah jelas antara kalimat terdahulu dengan kalimat kemudian, atau akhir kalimat dengan awal kalimat berikutnya, atau masalah yang terdahulu dengan masalah yang dibahas kemudian. Kedua, hubungan yang belum jelas antara ayat dengan ayat atau kalimat ddengan kalimat. Hubungan ini terdiri dari 2 macam yaitu:
1)      Ma’thufah
Secara umum dapat dikatakan bahwa adanya huruf a’thaf ini mengisyaratkan adanya hubungan pembicaraan. Ini dapat dilihat misalnya dalam surat al- Baqarah (2):245: وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ namun demikian, ayat-ayat yang ma’thuf itu dapat diteliti melalui bentuk susunan berikut:
Ø  اَلمَضَادَة (perlawanan/bertolak belakang antara suatu kata dengan kata lain).
Misalnya kata اَلرَّحْمَة  disebut setelah  اَلْعَذَابَ; kata اَلرَّغْبَة sesudah  اَلرَّهْبَة; menyebut janji dan ancaman sesudah menyebut hukum-hukum.
Ø  اَلاْءِسْتِطْرَادَ (pindah ke kata lain yang ada hubungannya atau penjelasan lebih lanjut).
Misalnya, kaitan antara اَلأهِلَّة dengan memasuki rumah dari belakang dalam ayat 189 surat al- Baqarah. Pada musim haji kaum anshar mempunyai kebiaasaan tidak memasuki pintu rumah dari depan. Sebelum itu mereka menanyakan اَلأهِلَّة  . lalu ayat ini menjelaskan bahwa yang dimaksud  اَلْبِرُّitu adalah taqwa kepada Allah dengan menjalan apa yang Allah tentukan dalam berhaji. Mereka telah melupakan masalah  اَلأهِلَّة tadi karena beralih kesoal memasuki rumah dari belakang dalam kaiannya dengan ibadah haji. Masalah ini berkaitan pula dengan pertanyaan mereka tentang berwudhu dengan air laut.
Ø  اَلتَّخَلُّص (melepaskan kata satu ke kata lain, tetapi masih berkaitan)
Misalnya, ayat 35 surat an-nur:رْضِ.... اَللَّهُ نُوْرُالسّضمَوَتِ وَالاْ
Dalam surat Al-Ghasyiyah (88): 17: اَفَلَايَنْظُرُوْنَ اِلَى الْاءِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ lalu di takhalluskan ke ayat 18 وَاِلَى السَّمَاءِكَيْفَرُفِعَتْ
Orang arab mempunyai kebiasaan menggantungkan penghidupan mereka pada unta( اَلْاءِبِلِ ). Al-Ibil tidak bermanfaat apa-apa kecuali menggantungkan hidup dari air, dan air itu dari hujan sedangkan hujan itu turun dari langit.
Ø  Tamtsil dari keadaan
Misalnya, tamtsil yang disodorkan dalam surat Al-Isra’ (17) ayat 1 dengan 2 dan 3. Peristiwa Isra Nabi Muhammad SAW. Dari makkah ke palestina sebanding juga dengan Isra Nabi Musa as. Dari mesir ke palestina.ayat itu dihubungkan dengan ayat 3 yang berisi kisah Nuh as. Sebagai hamba yang bersyukur. Ayat tersebut dihubungkan lagi dengan ayat 8-9 yang menyebutkan barang siapa berbuat baik atau jahat akan mendapat balasan sesuai janji Allah.
2)      Tidak ada ma’thuah
Dalam hal tidak ada ma’thufah dapat dicari hubungan ma’nawiyah-nya, seperti hubungan sebab akibat. Ada 3 bentuk hubungan yang menandai adanya hubungan ayat dengan ayat atau hubungan kalimat dengan kalimat.
·         اَلتَّنْظِيْر (berhampiran/berserupaan)
Misalnya, ayat 4 dan 5 surat Al- Anfal (8):
 أُولَئِكَ هُمْ الْمُؤْمِنُوْنَ حَقًّالَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَرَبِّهِمْ...  
كَمَاأَخْرَجَكَ رَبُّكَ مِنْ بَيْتِكَ بِالْحَقِّ....
Huruf al-Kaf ( ك ) pada ayat 5 berfungsi sebagai pengingat dan sifat bagi fi’il yang bersembunyi ( فِعْلٌ مُضْمَرٌ ). Hubungan itu tampak dari jiwa kalimat itu. Maksud ayat itu, Allah menyuruh untuk mengerjakan urusan harta rampasan, seperti yang telah kalian lakukan ketika perang badar meskipun kaummu membenci cara demikian itu. 
·         اَلْاءِسْتِطْرَاد (pindah ke perkataan lain yang erat kaitannya)
           Misalnya surat al-a’raf (7): 26 tentang pakaian takwa lebih baik. Allah menyebutkanpakaian itu untuk mengingatkan manusia bahwa pakaian penutup aurat itu lebih baik. Pakaian berfungsi sebagai alat untukmemperbagus apa yang Allah ciptakan. Pakaian merupakan penutup aurat dan kebejatan karena membuka aurat adalah hal yang jelek dan bejat. Sedangkan penutup aurat adalah pintu takwa.
·         اَلْمُضَادَة (perlawanan)
Misalnya, surat al-Baqarah (2): 6
اَنَّ الأَّذِيْنَ كَفَرُوْاسَوَآءٌعَلَيْهِمْ ءَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذَرْهُمْ لاَيُؤْمِنُوْنَ
Allah tidak akan memberi petunjuk kepada mereka yang kafir itu. Ayat ini berlawanan dengan ayat-ayat sebelumnya yang menyebutkan tentang kitab, orang mukmin, dan petunjuk. Hal ini berkaitan dengan ayat 23 surat al-Baqarah.
وَاِنْ كُنْتُمْ فِى رَيْبٍ مِمَّانَزَّلنَاعَلَى عَبْدِنَا....
Adapun hikmahnya adalah agar mukmin merindukan dan memantapkan imann berdasarkan petunjuk Allah  SWT


b)      Hubungan ayat dengan ayat dalam satu surat.
Hubungan ayat dengan ayat dalam satu surat sangat erat kaitannya sehingga tidak dapat menjadi kalimat yang sempurna jika dipisahkan dengan kalimat yang lain. Kemungkinan jelasnya munasabah antar ayat cukup besar, hal ini disebabkan karena pembicaraan mengenai satu topik jarang dapat selesai dalam satu ayat saja. Ayat berikutnya terhadap ayat sesudahnya biasanya berfungsi untuk menguatkan, menerangkan, memberi penjelasan, mengecualikan, mengkhususkan, menengahi, dan mengakhiri pembicaraan. Namun tidak semua ayat mempunyai munasabah yang jelas dengan aytat lain.[10] Contohnya dalam surat Alfatihah
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ  menunjukkan tentang ketuhanan, Allah penguasa seluruh jagat raya ini. Jagat raya ini akan bersimpuh kepada Allah dihari kiamat  (مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ). Ayat in menunjukkan kesitulah manusia akan kembali, kepada tuhan pencipta.
c)      Hubungan penutup ayat dengan kandungan ayatnya.
Ada 4 macam yaitu:
·         Tamkin
Memperkokoh atau mempertegas pertanyaan. Contohnya dalam surat al Hajj ayat 3-5, ayat 3 diakhiri dengan لَطِيْفٌ خَبِيْرٌ menunjukkan bahwa Allah terlebih dulu mengetahui manfaat hujan yang diturunkan dari langit sebagai sumber penghidupan mereka. Ayat kedua berakhir dengan اَلْغَنِيُّ الْحَمِيْدُ . Sifat Allah yang maha kaya dan maha terpuji ini menegaskan pernyataan sebelumnya bahwa Allah lah pemilik segala apa yang ada dilangit dan dibumi, dan allah tidak membutuhkan. Ayat ketiga berakhir denganرَءُوْفٌ رَحِيْمٌ  sifat Allah yang maha santun dan penyayang menunjukkan kepada manusia bahwa Allah telah memberikan nikmat kehidupan di dunia ini berupa tempat berusaha baik di darat maupn di laut dengan bentangan langit yang memayunginya.
·         Tashdir
Kalimat akan menjadi fashilah ayat sudah dimuat dipermulaan, atau pertengahan, atau akhir kalimat/ayat. Misalnya:
Q.S Al-Maidah ayat 39
فَمَنْ تَابَ مِنْ بَعْضِ ظُلْمِهِ فَاءِنَّ اللَّهَ يَتُوْبُ عَلَيْهِ
·         Tausikh
Kandungan fashilah ayat-ayat sudah tersirat dalam rangkaian kalimat sebelumnya dalam suatu ayat. Misalnya surat al-Baqarah (2):20
وَلَوْشَاءَاللَّهُ لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ اِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍقَدِيْرٌ
Kataقَدِيْرٌ  (mahakuasa) menegaskan bahwa Allah bisa dan berkuasa untuk melakukan sesuatu bila ia kehendaki, apalagi hanya untuk menghilangkan pendengaran atau penglihatan manusia.

·         Al-Ighal
Adalah tambahan keterangan terhadap kandungan ayat yang sudah ada sebelum fashilah. Misalnya dalam surat An-Naml (27):80
وَلاَتُسْمِعُ الصُّمَّ الدّثعَاءَإَذَاوَلَوْمُدْبِرِيْنَ
Makna kalimat ini telah lengkap sampai keالدُّعَاءَ  , lalu ditambahkanإِذَاوَلَوْامُدْبِرِيْنَ  untuk menyempurnakan hubungan dengan fashilah kalimat sebelumnya.
Hubungan surat dengan surat meliputi:
a)      Hubungan awal uraian surat dengan akhir uraian surat.
Contohnya dalam surat Shad (38). Surat ini dimulai dengan ayat  .وَالْقُرْانِ ذِى الذِّكْرِص . ayat ini mengingatkan manusia bahwa Al-Quran itu merupakan kemuliaan. Al-Quran juga bernama adz-dzikr, yaitu peringatan Allah kepada manusia. Surat ini berakhir dengan peringatan juga, yaitu
إِنْ هُوَإِلاَّذِكْرٌلِلْعَلَمِيْنَ.وَلَتَعْلَمُنَّ نَبَأَهُ بَعْدَحِيْنٍ
Al-Quran itu akan selalu menjadi peringatan bagi manusia. Manusia hendaklah senantiasa ingat dan mengetahui berita-berita besar masa lalu, di samping Al-Quran memberi “ramalan” di masa depan.
b)      Hubungan nama surat dengan tujuan turunnya.
·         Hubungan yang diketahui berdasarkan riwayat.
Misalnya dalam surat an-Nahl agar menjadi ibarat bagi manusia supaya menjadi makhluk beriman dan berguna seperti lebah itu, ibarat itu memperingatkan manusia agar tidak jatuh derajatnya ke tingkat sendah seperti kafir.
·         Hubungan yang diketahui berdasarkan penelaah pikiran secara logis.
Misalnya menurut Az-Zamlakany, surat Al-Isra’ membuat kisah Isra’ Nabi Muhammad SAW dari masjidil Al-Haram ke masjidil Al-Aqsha. Peristiwa ini diingkari oleh kaum musyrikin. Mereka mendustakan Nabi Muhammad SAW dan Allah SWT. Oleh karena itu, surat ini diawali dengan penyucian terhadap Allah dari selain Allah.
c)      Hubungan surat dengan surat sebelumnya.
Contohnya surat Al-Baqarah dengan surat Al-Fatihah. Surat Al-Fatihah memuat pokok-pokok isi Al-Quran. Surat Al Baqarah dimulai dengan الم ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَرَيْبَ فِيْهِ  . yang merupakan isyarat kepada ayatاِهْدِنَاالصِّرَاطَ الْمُستَقِيْمَ  . mereka meminta petunjuk (hidayah) jalan yang lurus. Jalan lurus itu adalah kitab Allah menurut riwayat hakim dari Ibn Mas’ud.
d)     Hubungan penutup surat terdahulu dengan awal surat berikutnya.
Misalnya, penutup surat Yunus (10) ayat 109 berkaitan dengan permulaan surat Hud ayat 1. Surat Yunus ditutup dengan perintah untuk mengikuti segala apa yang Allah wahyukan, yaitu kitab Allah . surat Hud dimulai dengan pernyataan tentang kitab Allah yang tersusun rapi dan terperinci.
وَاتَّبِعْ مَايُوْحَى إِلَيْكَ...(يونس)
آلر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ اَيَاتُهٗ ثُمَّ فُصِّلَتْ (هود)
                                                              
3.      Urgensi Munasabah
Pembahasan tentang tanasub ayat-ayat dan surat-surat al qur’an sangat penting, apalagi bagi mereka yang ingin mendalami makna yang terkandung dalam ayat-ayat al qur’an. Dengan dikuasainya ilmu ini oleh seseorang maka dia akan merasakan secara mendalam bahwa Al Quran merupakan satu kesatuan yang utuh dalam untaian kata-kata yang harmonis dengan makna yang kokoh, tepat, dan akurat sehingga sedikit pun tak ada cacat. Dengan dikuasainya ilmu tanasub ini oleh seseorang, maka semakin terang baginya bahwa Al-Quran itu betul-betul kalam Allah, tidak hanya teksnya, melainkan susunan dan urutan ayat-ayat dan surat-suratnya pun atas petunjukNya, sebagaimana diakui oleh ulama seperti dr. Abd Allah Darraz.[11]
Apabila ilmu tanasub tidak dikuasai, maka seseorang akan kesulitan dalam memahami Al-Quran, dan tak mustahil dia akan kelirudalam memahami dan menafsirkannya seperti kekeliruan Guillaume yang menganggap sistematika susunan Al-Quran kacau karena ayat-ayat madaniyyat ada yang masuk dalam kelompok ayat-ayat makkiyyat dan sebaliknya. Seandainya ilmuwan semisal Guillaume itu mempunyai sedikit pengetahuan tentang munasaabat tentu penilaian negatif sebagaimana dikemukakannya itu tidak akan timbul, atau paling tidak, dia akan lebih berhati-hati dalam memberikan penilian terhadap Al-Quran sebagai kitab suci yang langsung turun dari Allah.[12]
Kecuali tu, dengan dikuasainya ilmu tanasub, maka seseorang akan merasakan suatu mukjizat yang luar biasa dalam sususnan ayat-ayat dan surat-surat Al-Quran. Dia akan tahu penempatan suatu kata atau kalimat dalam untaian ayat-ayat Al-Quran betul-betul sangat tepat dan akurat.  Mengingat peranpenting ilmu tanasub, maka masuk akal bila pakar ulama tafsir seperti Ibn al-Arabi menyatakan bahwa kajian munasabat adalah suatu ilmu yang besar dan mulia, hanya orang-orang tertentu yang dapat menggalinya. Bahkan al-syaikh Abu Bakr al-Nasyaburi menyatakan kemarahannya terhadap ulama Baghdad yang tidak mau tahu dengan ilmu munasabat. Al-zarkasyi juga mengetahui pentingnya ilmu ini dengan menyatakan secara tegas bahwa munasabat  adalah ilmu yang amat mulia yang dapat memelihara dan meluruskan pola pikir serta mengenal kadar kemampuan seseorang dalam berbicara.[13]

D.     KESIMPULAN
Munasabah adalah kemiripan-kemiripan yang terdapat pada hal-hal tertentu dalam Al-Quran baik surat maupun ayat-ayatnya yang menghubungkan uraian satu dengan yang lainnya. Manam-macamnya adalah hubungan kalimat  dalam ayat, hubungan ayat dengan ayat dalam satu surat, hubungan penutup ayat dengan kandungan ayatnya, hubungan awal uraian surat dengan akhir uraian surat, hubungan nama surat dengan tujuan turunnya, hubungan surat dengan surat sebelumnya, hubungan penutup surat terdahulu dengan awal surat berikutnya. Urgensinya adalah dalam memahami keserasian antar makna, mukjizat Al-Quran secara balaghah, kejelasan, keterangannya, keteraturan susunan kalimatnya, dan keindahan gaya bahasanya.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Qathan,  Syaikh Manna.  Pengantar Studi Ilmu Al-quran (terj) oleh Aunur Rafiq El-Mazni dari Mabahis fi ‘Ulumul Quran. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2006.
Baidan, Nashruddin.  Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005
Syafe’i, Rachmat. Pengantar Ilmu Tasir.  Bandung: Pustaka Setia. 2006
Syakur, M. Ulum al-Quran. Semarang: PKPI. 2001
Usman. Ulumul Quran.  Yogyakarta:  Sukses offset. 2009.


[1] M. Syakur, Ulum al-Quran, Semarang: PKPI, 2001, hal 91
[2] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005 hal 200-201
[3] Ibid, hal 185
[4] Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tasir, Bandung: Pustaka Setia, 2006, hal 97
[5] Ibid, hal 97
[6] Syaikh Manna Al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu Al-quran (terj) oleh Aunur Rafiq El-Mazni dari Mabahis fi ‘Ulumul Quran, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006, hal 119
[7]Usman, Ulumul Quran, Yogyakarta: Sukses offset, 2009, hal 162
[8]Ibid, hal 163
[9] Rahmat Syafe’i, Op.Cit hal 98
[10] Usman, Op.Cit hal 180-181
[11] Nashruddin Baidan, Op.Cit hal 198-199
[12] Ibid, hal 199
[13]Ibid, hal 199-200

2 comments:

  1. oalaahh jebule kog punyamuu...
    hahahaa...

    ReplyDelete
  2. aq searching munasabah ayat, ee gak taunya dirimu sing nongol. Cieee

    ReplyDelete